Empat

12 1 0
                                    

"Kadang kala ada hal yang membuat beberapa mimpi pudar, bahkan sebelum sempat tuk diwujudkan."

Jam istirahat hari itu kumanfaatkan untuk bercerita pada Shasa setelah kami makan.

"Sha, aku mau cerita, masa si Gina ikutan bimbingan ips."

Shasa menatapku bingung, "Masa iya? Bukannya dia gak suka pelajaran ips? Aku pernah denger kalau ips selalu bikin dia ngantuk."

"Gak tahu, bisa gak ya aku ngalahin dia? Adik kelas yang ikutan juga banyak lagi," ucapku sambil menggeleng ragu.

"Udah sih percaya diri aja, dia juga kan baru ikut. Kalau kamu udah dari awal. Untuk adik kelas biarin, gak usah dipeduliin."

Meskipun sudah mendengarkan pendapat Shasa, hatiku masih resah, aku masih meragukan kemampuanku.

Di bimbingan sore ini, kami mulai dites, begitu juga untuk beberapa miggu ke depan. Nilaiku tidak terlalu tinggi dibanding yang lain, dan itu membuatku kembali pesimis.

Kalian mungkin tidak suka dengan sifatku, aku pun begitu.

Aku membenci diriku yang dengan mudahnya meragukan kemampuanku sendiri, memandang orang lain jauh lebih hebat.

Kadang kala hal itu membuat beberapa mimpiku pudar, sebelum sempat tuk kuwujudkan.

*******

Aku tetap mengikuti bimbingan ips, meski perlu tenaga ekstra untuk tetap lanjut karena kesehatanku sering menurun dan beberapa kali hampir jatuh sakit.

Sampai di suatu malam, tepat ketika aku jatuh sakit. Aku merasa sedang berada di titik terendah dan aku begitu saja menangis.

Seakan semua beban hidupku hanya dapat hilang jika aku menangis.

"Gini ya? Berjuang itu ternyata melelahkan. Selalu ngerasa gak ada apa apanya dibanding sama orang lain"

Tapi kemudian aku sadar, jika menangis tak mungkin bisa menyelesaikan masalahku.

Kuingat lagi sudah berapa lama sehingga aku berada di hari ini, detik ini. Jadi, apa yang perlu kutangisi?

Tujuan dari perjuanganku, juga orang tuaku, mereka yang selalu mendukungku, Erlira, dan Shasa, sahabatku.

Aku merenung perjuaganku sudah sampai sini, tinggal bertahan sedikit lagi, masa mau nyerah? Masa mau disia-siain?

"Aku pasti bisa!"

********

Di pertengahan Maret, akhirnya diadakan seleksi terakhir guna menentukan perwakilan olimpiade ips. Aku belajar keras untuk terpilih.

Dan nampaknya ungkapan usaha tidak akan mengkhianati hasil ada benarnya.

Seminggu sebelum lomba aku disuruh untuk belajar sendiri. Aku juga banyak dipinjami buku guna memperdalam materi buku ekonomi, geografi, dan hingga buku-buku sejarah yang sangat tebal.

Tiga hari sebelum lomba, aku mulai menyiapkan bahan juga formulir untuk pendaftaran.

Aku juga diberikan surat perizinan yang memerlukan tanda tangan orang tua.

Rasanya sulit sekali untuk memberi tahu mereka tentang surat izin itu, seperti harus mendaki puluhan gunung dan melewati ribuan lembah.

Akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian, aku memutuskan untuk memberi tahu selepas makan malam.

"Bu, ada surat dari sekolah, ucapku sambil ragu ragu memberikan suratnya pada ibu."

Ibu mengambil suratnya, bertanya lebih dulu sebelum membacanya, "Surat apa? Komite lagi?"

"Ih, bukan baca dulu. Tapi, jangan marah," pintaku.

"Olimpiade ips? Masih ikut kamu? Udah dibilangin jangan ikut, pantes kamu jarang les matematika iya, kan?"

"Iya," ucapku pelan, aku mengerucutkan bibir, "kan ibu marah," lanjutku.

"Iyalah kamu itu kan orangnya keras kepala, paling ngeyel kalau dibilangin. Kapan lombanya?"

"Lusa, nih penanya, tanda tanganinnya di situ," aku berkata sambil menyodorkan sebuah pena pada ibu.

"Harus menang ya," dukung ibu.

Ternyata tidak sesulit yang aku kira. Masalah memang akan terasa sulit, jika kamu hanya berdiam diri.

Aku menghela napas lega tersenyum baru menjawab, Iya.








































Bersambung....

Sweet PeaWhere stories live. Discover now