ONE (Safira POV)

9 2 0
                                    

     Pencarian sebuah jati diri dan penemuan pengakuan memang tidak ada habisnya. Jika masing-masing diri menyadari, sebuah pengakuan memang bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada yang rela menjual harga diri demi sebuah 'pengakuan' yang hanya sementara. Dan setelah ia mendapat pengakuan, hati kecilnya bermain peran. Mencoba menuntut jati diri dari sebuah pengakuan yang telah ia dapatkan.

"Ma aku berangkat dulu ya," Tanpa basa-basi, aku langsung beranjak pergi menuju sekolah.

"Kamu ngga sarapan dulu, Fir?"

"Ngga, Ma. Aku lagi buru-buru,"

"Yaudah. Hati-hati yaa.." Aku langsung bergegas masuk ke dalam mobil dan berangkat sekolah.

     Jakarta tampak padat hari ini. Sepertinya semua orang sedang bergegas menuju tujuannya masing-masing. Begitu pula diriku. Aku bukanlah tipe orang yang suka sarapan. Menurutku, jajanan kantin jauh lebih enak dibanding makanan rumah.

     Ini hari pertamaku di kelas 8, atau lebih tepatnya kelas 2 SMP. Aku bersekolah di sekolah swasta yang tidak terlalu elit dan tidak pula bobrok. Aku harus bergegas karena aku harus bersiap untuk menjadi panitia ospek kali ini.

     Sesampainya di sekolah, ternyata sudah banyak orang yang berbaris. Dengan wajah tanpa dosa, bukannya bergabung untuk berbaris, aku justru masuk ke kelas untuk menyimpan tas.

"Fir, lo ngapain disini? Cepetan baris. Udah telat tau," Tiba-tiba Amel mengagetkanku. Ia langsung mengambil tasku dan menyimpannya di sembarang tempat. Tanganku kemudian ia tarik agar aku mengikuti langkahnya.

"Ngapain sih, Mel? Males banget gue ikut upacara. Mending di kelas,"

"Lo ga ada berubahnya ya, Fir. Inget, sekarang lo anak OSIS. Lo bakal Ngospek anak-anak baru. Lo juga bakalan jadi contoh buat adek kelas lo,"

"Iya deh Amela Fahrezi. Gue ngikut lo aja. Daripada kena omel. Oia, btw  lo masuk kelas mana?"

"Gue masuk 8A. Sekelas juga kok sama lo dan musuh lo yang pernah bawa-bawa lo ke ruang BK,"

"Musuh gue? Siapa?"

"Ya siapa lagi kalo bukan Ayra. Musuh lo dari kelas 7,"

"Serius lo? Demi apa? Males banget kalo gue harus sekelas sama orang itu,"

"Ngapain sih gue harus bohong sama lo. Lagian siapa suruh dateng telat. Tadi juga kita udah kenalan satu kelas,"

"Yaudahlah, Mel. Abis ini, lo temenin gue ke ruang kesiswaan,"

"Mau ngapain lo?"

"Mau bilang kalo gue mau pindah kelas,"

"Emang boleh? Lo kira minta pindah kelas segampang itu. Jangankan elo. Dira yang kaya aja susah banget buat pindah kelas. Apalagi elo,"

"Yaudah deh. Tapi pokoknya, selama masa orientasi ini, lo harus nemenin gue, kemanapun!"

"Sampe ke toilet juga gitu?"

"Ya ngga lah. Yakali. Ogah juga gue ditemenin lo sampe ke toilet,"

"Yaudah iya Safira Mafaza,"

     Entah apa yang di rencanakan takdir. Mengapa ia harus menyatukanku dengan musuhku. Saat masuk ke dalam kelas, pandanganku terpusat dengan satu titik. Bukan menuju Ayra musuhku, namun orang di belakangnya. Sepertinya anak baru. Aku ingin mengajaknya berbicara, namun malu mendahului niatku tersebut.

"Sstt, Mel. Itu anak kacamata di belakang Ayra siapa? Anak baru? Gue ga pernah liat"

"Yang mana? Yang kacamata biru? Gue juga gatau namanya siapa. Anaknya pendiem banget. Antara cuek, dingin, sombong, atau ga kalem,"

WHY ME?Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon