Chapter I. Welcome to My Playground

6.1K 440 68
                                    

//Ting//


Pintu lift apartemen Sky Suite terbuka. Tanpa membuang waktu sedetikpun aku masuk ke dalam lift dan menekan tombol bertuliskan angka sepuluh beberapa kali. Suatu tindakan yang tidak berguna sebetulnya. Toh, lift pun tidak akan bergerak lebih cepat meski aku menekan tombol tujuan lebih dari satu kali.


Aku melihat refleksi diriku di cermin yang dipasang mengelilingi seluruh interior dalam lift dan menatap prihatin pada bayangan di seberangku. Rambut hitam sebahu yang menggantung dengan keadaan lepek bahkan saat telapak tanganku menyentuh kulit kepala, pangkal rambutku terasa lengket. Harusnya tadi malam adalah jadwalku untuk keramas namun apa daya, aku ketiduran saat membaca kontrak kerjasama iklan Eunoia dengan suatu perusahaan Consumer Goods. Sudahlah, mungkin nanti aku bisa menyelinap sebentar ke salon saat mereka sedang siaran.


Tepat saat layar LCD menunjukan angka sepuluh, aku melangkahkan kaki keluar lift dan berlari terburu-buru menuju unit 1009. Di saat sedang terlambat seperti ini aku merutuki letak unit 1009 yang berada di ujung lorong. Karpet abu-abu tebal yang terpasang rapi tanpa celah sedikit pun di sepanjang lorong bahkan tidak mampu meredam suara derap langkah kakiku. Mungkin kalau ada petugas security yang sedang berjaga, aku sudah ditegur untuk tidak menimbulkan kegaduhan dengan berlari. Tapi peduli amat, urusanku ini sangat penting, aku tidak boleh terlambat.


Langkahku terhenti saat ringtone telepon genggamku berbunyi nyaring dari dalam tas. Aku merogoh tas hitam kesayanganku, berusaha mencari telepon genggam yang terbaur diantara iPad, notes, alat tulis, make-up, jaket dan benda-benda kecil lainnya.


"Ya, Sak, kenapa?" sahutku cepat setelah menemukan telepon genggam yang ternyata tersembunyi dibalik jaket tipis yang kulilit dengan asal setelah turun dari Gojek tadi.


"Dimana, Na? Kok ngos-ngosan gitu?"


"Gue lagi lari ke tempat lo buat jemput anak-anak. Sekarang udah mau jam setengah 10, schedule kita di Radio Groove kan jam 11. Lo udah kelar siaran?"


"Oooh, hahaha –" Alih-alih menjawab pertanyaanku, laki-laki di seberang sana malah tertawa. "— Santai aja, Na, gue juga masih siaran. Gue selesai jam 10, nanti tolong jemput gue di sini aja ya sama anak-anak jam 10.10. Biar abis itu bisa langsung pergi ke Radio Groove. Oke, Na? Thank you ya, see you!"


Laki-laki itu tidak menaruh jeda di antara kalimatnya hingga sambungan telepon diputus. Tidak ada kesempatan buatku berbasa-basi untuk menanyakan hal di luar pekerjaan atau setidaknya menunjukkan perhatian yang ingin aku lebihkan buat dia. Ngga usah mimpi untuk bersikap lebih manis supaya dia bisa melihatku lebih dari sekedar rekan kerja, untuk menyudahi telepon saja aku tidak sempat. Aku mengembuskan napas dan melirik jam tangan di pergelangan kiriku. Jam 09.30 dan dalam waktu empat puluh menit lagi, aku sudah harus ada di depan muka dia lengkap dengan anak-anak yang sudah rapi. Ya Tuhan, bagaimana ini?


Sakti, laki-laki yang baru saja menyudahi teleponnya tanpa pamit dan tanpa dosa. Aku membuang napas panjang kalau sudah harus berurusan dengannya. Ia adalah orang yang sangat persuasif, ya kalau tidak mau dibilang sedikit bossy. Sakti selalu punya sejuta argumen yang dapat mendukung pernyataanya agar orang lain akhirnya mengikuti kemauannya. Lebih gawatnya lagi, Sakti adalah orang yang sangat tepat waktu. Dia tidak akan marah kalau ada yang terlambat, tapi dia akan mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan kenapa harus tidak tepat waktu, dan aku pastinya sedang tidak mood untuk mengarang alasan kalau-kalau aku terlambat menjemput dia hari ini. Ditambah aku tidak mau terlihat tidak becus bekerja di depannya.

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now