PROLOG

138K 12.9K 1.4K
                                        

Aku melebarkan mataku berbinar binar ketika menapakkan kakiku di Museum Trowulan. Kami dipandu oleh seorang pria muda yang memakai atribut kepala selayaknya bangsawan Majapahit agar menambah kesan study tour ini lebih nyata. Di sebelahnya terdapat pemandu wanita yang juga memakai atribut Majapahitnya, namun lebih totalitas.

Totalitas artinya wanita itu memakai kemben dan kain bercorak zaman Majapahit, tidak lupa aksesoris kalung dan gelangnya. Wanita itu begitu cantik dan lemah lembut termasuk dalam gayanya berjalan dan menemani sang pemandu pria. Kecantikan natural khas Nusantara, tanpa adanya make-up yang berlebihan.

"Jadi, adek-adek ini namanya patung Samuderamantana. Dikisahkan para dewa dan raksasa melakukan pengadukan samudera hanya untuk mencari air suci," jelas pemandu pria itu sambil menunjukkan sebuah patung tinggi yang sudah tua namun masih tetap kokoh. Aku hanya menatap patung itu dengan tatapan tidak tertarik dan memilih untuk mengedarkan pandanganku ke sekeliling museum. Entah mengapa perasaan familiar aneh merasuki dadaku saat aku melihat beberapa benda yang terpatri dalam museum itu.

Tidak jauh dari patung Samuderamantana itu, terdapat batu batu tua yang aku yakini sebagai prasasti Majapahit. Aku berjalan ke arah batu itu tanpa mempedulikan apa yang akan menunggu jika nantinya aku berpisah dari gerombolan. Lagipula, sampai saat ini tidak ada yang meneriakkan namaku. Karena itu, aku semakin berani berjalan mendekati batu batu yang disejajarkan itu. Batu batu itu dikelilingi dan dipisah oleh tali merah yang besar. Di tengah tali itu terdapat sebuah batu berisi penjelasan yang tertera dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Aku semakin nekat melewati tali merah itu dan berjalan menghampiri batu prasasti tersebut. Tulisan Pallawa yang lebih rumit dari sekedar aksara jawa terpampang jelas di sana. Namun, entah mengapa aku mengerti dengan apa yang dituliskan di batu itu, tanpa membaca penjelasan sebelumnya.

Aku bersumpah benar benar mengerti tulisan itu! Setiap goresan tulisan Pallawa itu seolah terlihat seperti huruf pada biasanya. Aku membaca prasasti itu dengan lancar seolah-olah aku memang pernah hidup di zaman Majapahit. Bahkan aku lebih mengerti tulisan dan bahasa yang tertera dalam batu itu daripada bahasa Inggris yang notabenenya telah aku pelajari sejak lama.

"Apa yang kamu baca?" Suara lembut itu membuatku terlonjak kaget. Aku menoleh dan mendapati wanita pemandu itu berada di sebelahku. Aku langsung mundur dari tempatku berdiri sambil meminta maaf.

Namun, wanita itu menahan pundakku dengan lembut lalu berkata lagi, "Tidak apa-apa. Saya hanya penasaran apa yang kamu baca di sana."

Kelembutan wanita dan ucapannya yang sopan membuat bulu kudukku berdiri. Aku yakin seratus persen, keanggunan wanita itu bukan berasal dari masa modern ini. Perawakannya sungguh melambangkan seorang wanita jelita yang dengan keanggunan klasik.

"Umm... itu, di sini dituliskan mengenai aturan di berbagai tempat penyeberangan di sekitar sungai Bengawan Solo dan Brantas. Ini dikeluarkan sendiri oleh Maharaja Sri Rajasanegara yang ia tuliskan dengan nama Canggu," jelasku dengan lancar sambil memindai batu itu. Kemudian, aku mengalihkan tatapanku pada wanita itu.

Wanita pemandu itu tersenyum sabar lalu mengangguk pelan, "Tepat sekali."

Aku melebarkan mataku terkejut. Apakah wanita ini mempermainkanku atau ia memang dianugerahi suatu kemampuan untuk membaca huruf Pallawa? Aku tergagap kemudian membalas lagi. "Saya nggak pernah baca ini di internet sebelumnya. Suwer!"

Wanita itu tertawa merdu lalu mengusap puncak kepalaku pelan. "Saya percaya," ucapnya pelan. "Kamu tahu siapa itu Maharaja Sri Rajasanegara?"

Aku menggeleng pelan. Melihat ekspresi bodohku, wanita itu melanjutkan perkataannya, "Itu adalah gelar dari Raja Hayam Wuruk. Kamu tahu kan Raja Hayam Wuruk?"

Aku mengganggukkan kepalaku bersemangat. Siapa yang tidak tahu Hayam Wuruk? Pria itu menjadi legenda dalam kertas ulangan sejarah kami. Di mana ada nama Hayam Wuruk pasti di sebelahnya ada kata 'Majapahit berada pada puncak kejayaannya'.

"Mau mengetahui rahasia Majapahit?" tanya wanita itu lagi padaku. Aku tampak bingung, namun kemudian menganggukkan kepalaku pelan.

Wanita itu tersenyum hangat lalu mengajakku keluar dari lingkaran merah itu. "Ikut saya," ajaknya bersemangat.

Aku seolah-olah terpesona dengan keanggunan klasik dan kecantikan khas Nusantara itu hingga tidak peduli dengan kemungkinan jika ia adalah orang jahat. Kalau pun orang jahat, aku rela dijahati oleh wanita secantik dia. Sungguh!

Wanita itu membawaku ke belakang Museum Trowulan di mana terdapat hamparan taman kecil dan bunga bunga. Ada jalan setapak di sana yang menghubungkan alun alun museum dengan sebuah pintu bercorak persis seperti di Bali, termasuk ukiran, patung dan warnanya.

Wanita itu membuka pintu tersebut dan menyuruhku masuk ke dalamnya. Ruangan yang aku masuki hanya berupa ruangan kosong dengan lantai kayu yang berderit. Ruangan itu remang-remang, sebab pencahayaannya yang minim. Aku berusaha beradaptasi dengan cahaya di ruangan itu sambil mengikuti wanita cantik itu. Mengikuti ke mana pun dia membawaku pergi.

"Nama saya Bestari. Nama kamu siapa?" tanya wanita itu dengan suaranya yang gemulai.

"Nama saya Gentala Sosrokartono," jawabku pelan.

"Nama yang bagus." Dia menoleh ke arahku kemudian tersenyum. Aku memang bukan lesbian, tetapi sepertinya aku akan menjadi salah satunya sebentar lagi, karena kecantikan wanita itu.

Bestari berhenti tepat di depan sebuah batu berbentuk matahari yang teramat besar dengan ukiran-ukiran rumit seperti orang yang mengelilingi lingkaran di dalamnya. Aku pernah melihat ukiran itu sebelumnya. Aku melihatnya di buku sejarahku! Itu adalah logo dari Kerajaan Majapahit. Wanita itu mengutak-atik benda tersebut, sebelum mendorong lingkaran polos di tengah ukiran itu. Lingkaran itu bergeser dan menampilkan sebuah ruangan yang jauh lebih terang dan besar daripada yang aku pijak sekarang.

Aku masuk ke dalam ruangan itu dengan wajah terbengong-bengong. Singgasana kerajaan klasik khas Tutur Tinular masih berada kokoh di ujung ruangan. Segala arsitektur di ruangan itu benar-benar klasik dan kental akan budaya Jawa kuno, termasuk karpet, jendela, pintu dan penataan dekorasi.

"Apakah kamu tahu Gentala, jika ada seorang raja Majapahit yang dihapus dari sejarah?" tanya Bestari yang tersenyum anggun melihat wajah bodohku.

Aku menatapnya dengan rahang terbuka lebar. "A-apa?"

"Namanya adalah Lingga dan bergelar Maheswara Jayawardhana. Dia naik takhta pada umurnya yang ke-20 tahun dan memerintah selama 15 tahun," jelas wanita itu perlahan-lahan, lalu mengajakku ke sebuah batu tulis yang tergeletak rapi tanpa pengamanan tali merah. Aku mengamati batu itu dan lagi-lagi aku mengerti tulisan yang ada di dalamnya.

"Apakah kamu tahu kalau puncak kemakmuran Majapahit yang sebenarnya berada di masa pemerintahan Maheswara Jayawardhana bukannya Hayam Wuruk?" Wanita itu berucap lagi dan masih membuatku kehilangan kata.

Aku memindai satu per satu huruf Pallawa yang ada di sana. Nama prasasti itu adalah Pandya dan ditulis oleh Hayam Wuruk sendiri tanpa menggunakan gelar rajanya. Pandya artinya seseorang yang bijak. Prasasti itu menceritakan kehidupan seorang Maheswara Jayawardhana yang menjadi raja paling bijaksana sepanjang sejarah Majapahit. Kebijakan demi kebijakan dan dobrakannya pun dituliskan oleh sang Hayam Wuruk untuk mengenang sang ayah. Lingga itu juga yang pertama kali mengangkat Gajah Mada sebagai orang kepercayaan kerajaan Majapahitnya.

Aku terkejut dengan apa yang aku temui hari ini. Aku menoleh pada Bestari dengan tatapan kagetku. Lagi-lagi ia hanya tersenyum maklum lalu menjelaskan, "Namun, Lingga juga diingat oleh masyarakat Majapahit sebagai raja paling kejam dan berdarah. Kekejaman itu sebagai akibat dari istrinya meninggal di saat Hayam Wuruk masih berumur enam tahun. Lingga pun menyesal dan bertapa di Gunung Kediri berharap Dewa nengembalikan istrinya."

Tiba-tiba saja kepalaku terasa begitu penat dan pusing ketika mendengar penjelasan wanita itu. Aku memegang kepalaku sambil mengerang kesakitan. Wanita itu tidak menanyakan keadaan atau pun berteriak panik melihat keadaanku. Ia hanya menahan pundakku sebentar, lalu berbisik, "Maheswara Jayawardhana masih hidup. Sang Hyang Karsa telah menganugerahinya kehidupan abadi agar ia bisa membalas penyesalannya pada istrinya yang tercinta."

Lalu, wanita itu tiba-tiba saja menghilang dan membuatku semakin sakit saja. Pandanganku kabur secara perlahan-lahan, lalu menggelap.

TBC...

RENJANA⚜ ✔Where stories live. Discover now