Empat Belas

7 0 0
                                    

Dua minggu sebelum keberangkatanku ke Singapura, aku terbang ke Semarang bersama kedua orangtuaku. Kami mengurus berkas pindahan di universitas dan mengemas barang-barangku di kost an.

Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Aku baru saja masuk universitas impian Ayah kemarin. Sekarang aku harus pergi mengejar mimpiku. Meninggalkan teman-teman yang baru saja aku kenal. Entah apakah aku bisa mendapatkan teman baru lagi di sana atau tidak. Yang terpenting, aku harus bersyukur bisa mendapat kesempatan emas untuk bersekolah dengan taraf internasional.

Selama di Semarang, aku menyempatkan diri berkunjung ke rumah Zee. Satu-satunya orang yang bisa kutitipkan salam untuk Abel dan Sarah. Aku bisa saja bilang lewat chat, tapi aku ingin melihat Zee untuk terakhir kalinya secara langsung.

Sama seperti Haidee, Dhirga, maupun Kak Nath, Zee juga terkejut mendengarnya. Ia bahkan mau menangis ketika aku berbicara. Namun, aku berhasil mencegahnya.

Setelah tiga hari di Semarang, aku kembali ke Bekasi. Kerjaanku masih sama, yaitu mengemas barang-barang. Sebenarnya tak banyak yang kubawa karena sisanya akan kubeli di Singapura saja. Untungnya, aku tidak perlu repot mencari rusun atau semacamnya karena aku akan tinggal di asrama kampus. Semoga saja teman sekamarku mau menerimaku.

Sesekali Haidee juga datang ke rumahku untuk sekadar membantu atau menonton film bersama. Aku ingin mengajak Dhirga, tapi sepertinya laki-laki itu sedang dalam mode no life. Kami hanya bertukar pesan sesempatnya saja.

Hari senin pagi menjadi hari yang penting bagiku. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidur dan bersiap-siap. Meski pesawatku berangkat jam sepuluh pagi, aku harus sampai di sana sebelum itu. Sembari sibuk menyiapkan diri, aku menelepon Haidee untuk memberitahunya bahwa aku akan berangkat. Kemarin dia bilang ingin ikut mengantarku ke bandara, entahlah dia jadi ikut atau tidak.

Kami berangkat ke bandara menggunakan mobil. Tidak butuh waktu yang lama, kami pun sampai di bandara. Ya, tumben sekali Jakarta agak lengang pagi ini. Jam masih menunjukan pukul delapan pagi. Masih ada dua jam sebelum keberangkatan. Ah, ya aku tidak sendirian ke Singapura. Ayah ikut mengantarku sampai ke sana. Mungkin Ayah akan menginap selama tiga hari sampai benar-benar memastikanku mulai belajar di kampus.

RRR!!!

RRR!!!

Aku yang tengah sibuk merapikan koperku langsung mengambil handphone dari kantung jaketku.

Dhirga : Lo di mana?

Ya, sudah tiga hari kami tidak bertukar pesan dan dia baru bertanya sekarang. Dasar aho.

Hiraeth : Bandara.

Dhirga : Ya, gw tau lo di bandara. Di mananya?

Hiraeth : Terminal tiga keberangkatan.

Dhirga : Liat gw gak? Bentar, gw jalan ke arah lo.

Hiraeth : Hah? Lo di sini?

SET!

Sebuah tangan menyentuh bahuku pelan. Aku langsung menoleh. Dhirga tersenyum padaku. Laki-laki yang mengenakan jaket bomber berwarna hijau army itu menepuk-nepuk bahuku.

"Capek banget gue lari-larian. Gue kira lo udah jalan." kata Dhirga. "Lagian lo gue telpon gak diangkat!" seruku. "Iya gue lagi bantuin adek gue nyuci sepeda." jawab Dhirga. "Ya udah duduk, tuh." kataku. Ia pun duduk di samping Ayah.

"Lho, kamu yang kemarin itu kan?" tanya Ayah. "Eh, iya, om." jawab Dhirga sambil mencium tangan Ayahku.

Kakiku tak bisa berhenti berjalan. Aku takut Haidee terlambat datang ke sini dan tidak melihatku pergi. Di mana dia? Aku mencoba menghubunginya tapi tidak ada jawaban. Apa jalanan macet? Oh, Tuhan, semoga dia baik-baik saja.

ThreeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt