du•a•be•las

195 42 74
                                    

Sisanya setelah gue selesai videocall sama Calum, Luke berkali-kali nge-freecall gue, yang semuanya gue biarin aja sampai nada sambung habis dan mati sendiri. Gue ga pernah tega nolak telepon dari orang. Tapi kalau gue males ngangkat, gue biarin aja.

Jujur, gue masih sakit banget. Ya lagian siapa yang ga sakit sih anjing. Oke, gue tau, mungkin bener yang Calum bilang, gue bukan siapa-siapa Luke, tapi kalau gue diajak makan, ngomong pake aku-kamu, manggil-manggil pake nickname yang sweet, chat ngalir terus, diundang nonton dia tanding, sering dianter pulang ke rumah pas pulsek, dll, menurut lo itu masih ga ada apa-apa dan masih sekedar temen doang gitu ha?

Karena dia yang berkali-kali nelpon dan kayaknya tanpa henti, sekaligus gue yang capek ngebiarin missed call-nya terus, akhirnya gue minta pendapat sama Calum. Gue nge-exit layar incoming call dari Luke, ngechat Calum.

Thalissa : Cal
Thalissa : Luke nelpon trs
Thalissa : angkat ga?

Calum : angkat aja
Calum : kasih kesempatan
Calum : tp terserah lo ding

Gue cuma baca chat itu. Dia sih, gampang, tinggal bilang angkat. Gue yang ga siap ngangkat telponnya, dan dengerin dia ngasih semua kebullshitan itu lagi.

Entah di telpon keberapa, akhirnya gue memutuskan mengangkat telpon dari Luke.

"Thal kamu kemana aja sih daritadi aku telponin, kenapa ga diangkat coba? Aku tau ya kamu itu online kenapa chat aku ga dibales? Terus tadi kamu telponan sama siapa aku telpon tapi kamu-nya lagi di panggilan lain?"

"Apaansih," Adalah respon yang gue berikan setelah bacotan panjangnya.

"Kamu telpon sama siapa, Thalissa?"

Gue menghela napas,"Calum, kenapa?"

Terdengar helaan napas Luke juga dari seberang,"Thal, aku ga suka ya kamu deket-deket Calum."

"Lah emang gue suka lo deket-deket sama Zara?" semprot gue,"Zara itu suka sama lo, loh, Luke. Kurang jelas apa lagi sih?"

"Kamu kenal Zara dan kamu tau aku. Aku ga bakal ada apa-apa sama Zara, I swear! Sedangkan Calum? He's a stranger, Thalissa, I know you better. Mending jauh-jauh dari cowok bangsat it—"

"Jangan sekali-kali manggil Calum cowok bangsat!" Nada bicara gue tanpa sadar meninggi, dan bahkan sebelum gue menyadarinya, Luke udah terdiam di seberang telepon.

Luke menghela napas,"Oke, oke. Maafin aku, please. Aku ga mau kita berantem kayak gini, ngerti? Aku harus fokus buat pertandingan besok, Thal."

"Lo egois, Luke." ucap gue. "Gue juga pengen lo fokus sama pertandingan besok, bangsat. Tapi lo-nya yang cari gara-gara." Gue menggeram.

"Thal, aku cuma kasian sama dia."

"Perlu banget dianterin sendiri? Luke, gue nungguin lo sampe sepi tadi lo ngerti gak sih perasaan gue kayak gimana?! Coba lo ada di posisi gue, anjing."

"Aku ngerti, Thal, aku—"

"No, you don't understand me at all."ucap gue pada akhirnya, air mata gue netes lagi. Ya elah baru juga ditenangin Calum, tau-tau udah deres lagi. Gara-gara Luke doang emang. Untung gue sayang sama lo, anjing. "Dan gak usah sok kenal sama gue. Calum knows every single word I never told you, he knows me better."

Dengan satu kalimat itu, gue menutup sambungan telepon, dan tangis gue pecah lagi.

Gue gak tau harus gimana.

Jujur, di satu sisi, gue sama sekali gak niat ngucapin semua kalimat itu ke Luke. Gimanapun caranya, gue gak mau ngebiarin dia pergi gitu aja. Tapi di sisi lain, gue juga bangga bisa ngomong setegas itu ke dia, meskipun gue gak tega. Yang gue lakuin sekarang cuma nangis dan nginget-inget kalau Luke itu udah nyakitin gue.

Jadi bimbang.

Melirik jam yang tergantung di dinding kamar gue, gue tau ini udah jam 7 malem. Gue turun ke ruang makan, disana ada Mama, lagi makan sendirian. Gue sama Mama emang ga pernah punya jadwal khusus dalam hal apapun. Maksudnya kayak, kalo lo mau makan, ya udah makan aja. Makanan bakal selalu tersedia di atas meja makan.

Gue beringsut mengambil piring di rak piring dekat wastafel, kemudian sendok, dan terakhir gelas. Selanjutnya, gue duduk tepat di hadapan Mama.

"Kirain kamu ngga bakal makan malem," kata beliau. Gue cuma mengedik, mulai mengambil nasi dan lauk pauk.

Tiba-tiba, gue teringat percakapan dengan Mama beberapa hari yang lalu, saat Mama menyebutkan bahwa Mamanya Calum udah meninggal. Jujur, itu masih mengganjal di pikiran gue sampai sekarang, tapi gue enggak pernah berani nanya langsung ke dia, mau itu di chat, telepon atau videocall. Gue takut, gue bakal bikin dia sedih. Dan gue paling anti bikin orang sedih.

Meskipun seringnya orang lain yang bikin gue sedih.

Hehe.

Apasih.

Maka, gue memutuskan untuk menanyakan pada Mama soal maksud ucapan beliau beberapa hari lalu.

"Ma, maksudnya Mamanya Calum udah meninggal.. Apa sih?" tanya gue dengan hati-hati.

Mama mengernyitkan alisnya, menatap gue sebentar, kemudian santuy melanjutkan makan lagi.

"Kamu tuh, ya, emang nggak paham, maksud omongan Mama?" kata beliau sambil memutar mata.

Lah ko gini sih.

Elah.

"Bukan itu, Mah.." ucap gue.

Mama mengangguk tanda paham,"Iya-iya ngerti." kata beliau, kemudian melanjutkan,"Calum nggak cerita banyak soal Mamanya. Waktu itu, waktu kamu mau jalan sama dia, pas kamu lagi siap-siap, Mama ngobrol sama dia. Mama nanya, 'orangtua kamu kerja apa, Cal?' terus dia bilang, 'Papa kerja di perusahaan otomotif, tante.' terus Mama nanya lagi, 'kalau Mama, Cal?' nah dia bilang, 'Mama udah meninggal, tan.'." Mama mengingat-ingat percakapannya dengan Calum hari itu, memperagakannya.

"Kasian banget liat mukanya waktu itu. Jadi, Mama bilang, 'Kamu boleh panggil Tante pakai sebutan Mama, kok. Anggep aja Tante ini Mama kamu sendiri,'."

Gue menghela napas. Nggak, gue nggak nangis. Gue ga baperan ya anaknya, ga kayak lo pada pas baca cerita ini. Tapi kasihan juga liat Calum selama ini hidup tanpa kasih sayang Mamanya.

"Calum cerita apalagi soal keluarganya, Ma?" tanya gue.

"Dia bilang dia punya kakak cewe, udah lulus kuliah. Sekarang kerja di perusahaan berbasis keuangan gitu katanya." Mama mengedik. Gue mengangguk-angguk tanda paham.

Kami melanjutkan makan dalam hening selama beberapa menit, sampe akhirnya, Mama bilang,

"Calum emang nggak pernah cerita apa-apa ke kamu, Lis?"

Gue terdiam.

Di situ, gue sadar, ternyata selama ini gue yang lebih banyak cerita ke Calum, soal Luke, soal kehidupan gue, soal apapun. Sampai akhirnya, Calum nggak mendapat kesempatan untuk cerita tentang kehidupannya sendiri.

Dan di situ, gue sadar, ternyata gue egois banget selama ini.

•••

Hi luv

Sorry baru bisa update sekarang, sebenernya mau update dari kemarin2 but i feel a little bit insecure lately so

Makasih buat yg masih mau baca sampai sejauh ini, luv u one by one

Btw, how's the new cover? ;)

-aku yg seharusnya remidi

Siblingzone • cth [FINISHED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora