we don't talk anymore

310 50 1
                                    

Inilah alasan kenapa aku benci perpisahan. Bisa jadi kita tidak bertemu lagi. Dan bisa jadi kita bertemu lagi dengan kondisi kecanggungan ekstra.

Prompt oleh yeosatudihatiku
________

Tidak mungkin Na Jaemin yang biasanya tidak pernah merasa canggung mendadak diam seribu bahasa dengan cangkir teh kamomil yang kelewat manis di genggaman tangan.

Tidak mungkin. Huang Renjun tahu laki-laki itu senang membuat keributan dan kekacauan dimanapun ia berada.

Maka ketika mendapati Mark Lee di hadapannya, dan Na Jaemin yang mungkin merasa lantai marmer dengan hiasan yang lebih mirip hiasan kado natal itu lebih tampan daripada kakak kelasnya sendiri, alisnya berkedik tidak mengerti.

Heol, padahal mereka ke sini untuk membicarakan proyek grup band mereka yang akan tampil di festival budaya bulan Agustus nanti.

"Jadi?" Renjun mengangkat alis sambil melirik Na Jaemin dan Mark Lee bergantian, sebelum akhirnya mendesah lelah. "Apakah kita akan melanjutkan kontes saling diam sampai bulan Agustus datang?"

Suara batuk Na Jaemin yang lebih mirip suara orang dicekik mampir untuk memecahkan suasana hening yang canggung itu, well, walau tidak berguna sama sekali sih. Lalu ia berkata, "Aku tidak yakin kau memilih orang yang tepat, Injun."

Renjun mengangkat alisnya tidak paham. "Kenapa? Kau jago sekali main piano, Mark-Hyung jago main gitar dan aku hanya bisa menyanyi seumur hidupku. Bagian mananya yang salah pilih?"

"Bagian kau memilih kami sebagai satu grup, itu yang coba dikatakannya." Mark kemudian menyahut singkat, sambil meraih cangkir kopi dan menyesapnya tanpa suara berarti. "Kupikir mungkin Jaemin benar, tapi aku tidak peduli, sih."

"Apapun urusan kalian di masa laluㅡTangan Huang Renjun yang lincah kini sudah berganti memegang pena dan buku catatan kecil sebelum menulis sesuatu di sanaㅡaku harap ini tidak mengganggu rencana kita untuk mengisi waktu liburan musim panas sialan ini."

"Secara teknis, kau yang memaksaku menyetujui ide ini." Jaemin mendengkus berlebihan, sambil menghindari tatapan Mark yang mendadak tertuju padanya dengan pandangan setajam elang. Seolah laki-laki itu dapat menguliti siapapun hanya dengan tatapan matanya. Itu mengerikan, kautahu? "Walau harus kuakui aku tertarik... tapi...."

Renjun tidak sempat mendengar kelanjutan kalimat yang hendak keluar dari bibir Jaemin atau sanggahan dari kotak suara Mark yang hari ini rasanya lebih berat dari sebelumnya karena laki-laki itu menyobek kertas dari buku catatan jadi dua dan memberikannya pada Jaemin serta Mark satu persatu. "Masa bodoh, selesaikan. Dan aku ingin melihat kalian datang besok tanpa alasan apapun."

Dan tanpa berpikir mungkin Jaemin dan Mark saling membunuh saat ia tidak ada, Renjun melenggangkan kaki meninggalkan kedai roti itu tanpa hambatan setelah memberi kecupan manis di puncak kepala Na Jaemin serta tepukan lembut di pundak Mark.

Huang Renjun bodoh. Jaemin meminum lagi teh kamomilnya. Lalu bersuara, "Sudah lama tidak melihatmu."

"Kau selalu melihatku di sekolah, kalau lupa," sahut Mark tanpa beban.

Jaemin menelan ludahnya gugup. "Yah, maksudku berinteraksi seperti ini." Senyum canggungnya terbit beberapa menit. "Tadinya mau bertanya apa kabarmu, tapi kurasa kau baik-baik saja. Jadi aku tidak akan menanyakannya."

"Ya." Mark menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sambil mencuri lirik sekeliling ruang kedai, apapun asal bukan Na Jaemin yang tidak mau menatap wajahnya. "Kau juga terlihat baik-baik saja. Bagaimana dengan fobia gelapmu? Kurasa sudah sembuh, 'kan?"

iv. what they saidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang