3. When Ghea meets Ben

17.1K 1.2K 12
                                    

Rooftop rumah sakit Mitra Sehat menjadi satu-satunya tempat teraman bagi Ghea saat ibunya harus menjadi penghuni tetap Rumah Sakit itu setelah divonis mengidap kelainan jantung. Bukan karena tidak nyaman berada di dalam satu ruangan dengan Mama, hanya saja Ghea merasa butuh waktu untuk berhenti pura-pura tegar, dan bisa bebas menangis tanpa membebani perasaan Mama. Rooftop rumah sakit menjadi tempat yang paling aman untuk itu.

Terlebih, karena di tempat itu pula ada sebuah ruang kecil yang disediakan pihak rumah sakit sebagai chapel sederhana, yang lebih sering sepi pengunjung.

Ketika Ghea pikir dia akan melepas topengnya dan memeras sedikit air dari kelenjar airmatanya lagi sore itu, Ghea malah terjebak dalam sebuah siatusi canggung karena tempat khusyuk andalannya sedang digunakan sebagai tempat berdebat. Di ujung deretan bangku-bangku panjang yang jumlahnya tidak banyak, Ghea bisa dengan cepat memindai salah satu di antara dua orang yang berdebat itu pastilah berprofesi sebagai dokter. Hal itu tampak jelas melalui jas yang dikenakannya. Sementara yang menjadi lawan bicaranya adalah seorang wanita paruh baya. Dilihat dari garis-garis wajahnya yang menunjukkan kemiripan, Ghea bisa menduga kalau dua orang itu pasti membagi DNA yang sama.

Entah karena perdebatan yang terlalu sengit, atau karena Ghea sengaja masuk dengan gerakan ekstra hati-hati saat membuka pintu tadi, kedua orang yang sedang berdebat itu sampai tidak menyadari kehadiran Ghea.

"Nggak usah bohong, Ben. Mama udah interogasi semua rekan-rekan sesama doktermu, dan mereka semua mengaku kalau kamu nggak pernah serius berhubungan dengan perempuan," sang ibu memelas. "Mama boleh jadi contoh yang nggak benar dalam membentuk keluarga, tapi kamu nggak harus trauma karna kegagalan Mama."

"Astaga, Mama! Hanya karena Ben nggak pernah serius sama perempuan, bukan berarti Ben nggak suka sama perempuan, Ma. Demi Tuhan Ben normal, Ma." Terlihat jelas melalui airmukanya bahwa sang anak sangat frustrasi menghadapi ibunya sendiri.

Ghea yang tadinya sudah berniat untuk menepi demi memberikan privasi bagi dua ibu-anak itu tiba-tiba merasa iba. Bagaimana mungkin orientasi seks seorang anak bisa menjadi penghalang kasih sayang dalam keluarga kecil itu, pikir Ghea. Alih-alih menyingkir, kaki Ghea malah terpaku. Rasa penasaran tentang kelanjutan perdebatan itu menguasai pikirannya.

As If I Love You [TERBIT]Where stories live. Discover now