11. Keinginan Mama

10.2K 1K 34
                                    

"Setelah ratusan purnama ... akhirnya pulang juga kamu," Mala menyambut kehadiran Ben dengan sindiran halus. Ben hanya cengengesan sambil merentangkan tangannya untuk mendekap sang ibu.

Sejak kembali dari London, Ben memang hanya pulang untuk mengantar kopernya. Setelahnya, Ben selalu membuat alasan untuk tidak pulang dan memilih untuk menginap di rumah sakit saja. Bukan tidak menghargai Mala yang menungguinya setiap hari, Ben hanya tidak ingin Mala membaca suasana hatinya yang tidak menentu paska putus dengan Ghea.

"Ngomong kangen aja mesti jutek gitu sih, Ma?" sahut Ben dari dalam dekapan ibunya. Hangat.

"Gelagatnya udah mendingan nih. Mama tebak, kamu udah balikan lagi sama Ghea ya?"

Tuduhan Mala kontan membuat tubuh Ben membeku. Pasalnya, Ben tidak pernah menceritakan tentang perkembangan hubungannya dengan Ghea lagi sejak Mala ngotot mengusulkan pernikahan kepada keduanya.

Pernikahan jelas menjadi momok yang paling menakutkan untuk dua sejoli itu.

"Jangan pikir Mama nggak tahu apa-apa tentang kamu sama Ghea, Ben. Mama punya mata-mata terpercaya!" ujar Mala jumawa.

"Halah! Paling mata-mata Mama si Fuad, apa enggak Litha! Bener kan?" tebak Ben.

Mala hanya tertawa ringan sambil menggiring Ben ke meja makan. Ini bukan jam makan lagi karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi meja makan selalu menjadi tempat favorit Mala untuk menghabiskan waktu dengan Ben. Apalagi malam ini, Mala sudah menyiapkan pempek yang bisa dinikmati sebagai kudapan sambil mengobrol.

"Nunggu apa lagi sih, Ben?" todong Mala saat Ben menyendokkan suapan pertama pempek ke dalam mulutnya.

"Nggak nunggu apa-apa, ini langsung dilahap kan?" jawab Ben dengan mulut penuh.

"Ghea, maksud Mama. Nunggu apa lagi kamu buat nikahin dia?"

Ben sontak terbatuk-batuk karena tersedak pempek. Mala mengangsurkan gelas berisi air putih sambil menepuk-nepuk pundak putera semata wayangnya. "Nenek udah nggak ada, Ben. Mama juga nggak tahu bakal sampai kapan di dunia ini. Dan Mama sama sekali nggak mau kamu tinggal sendirian Ben. Mama ingin memastikan kamu ada yang mendampingi saat Mama menghadap yang Maha Kuasa nanti."

"Ngomong apa sih, Ma?" protes Ben, tak suka.

"Kalau Ghea juga bukan jawabannya, kita ke psikolog yuk. Berobat," bujuk Mala.

"Ben nggak se-sakit itu, Ma." Mendadak Ben kehilangan selera untuk lanjut melahap pempek yang ada di hadapannya.

"Mama pikir juga begitu, sejak semua yang Mama dengar dari Litha."

Refleks, Ben mengingat semua pembicaraan kotornya dengan Litha. Jangan bilang Litha menceritakan tentang kondisi selangkangannya di depan Ghea pada Mama. Gawat! Ben harus ingat untuk menyaring cerita pada Litha lain kali.

"Diana dulu sering ngeluh kamu bahkan nggak pernah mau pegang tangannya, sementara dengan Ghea—"

"Ma!!!" Ben nyaris berteriak saat menyela. Kali ini Ben benar-benar yakin mulut sahabatnya tidak bisa dipercaya. Bingung harus mengalihkan topik pembicaraan, Ben mendengkus. "Ghea masih kuliah, Ma. Kasih waktu ya."

Mala tersenyum hangat. Lantas mengangguk. "Jangan lama-lama."

"Iya, Ma."

**

Tiga hari tidak bertemu dengan Ben ternyata cukup menggangu. Ghea seharusnya paham ritme hubungan mereka yang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, seperti yang terjadi sepanjang usia hubungan mereka selama ini. Tapi kali ini Ghea tidak bisa tenang karena pertemuan terakhir mereka sama sekali jauh dari kata akur. Ghea lagi-lagi cari masalah dengan mengingatkan Ben tentang "pernikahan" sementara Ben hanya berusaha menurunkan tensi amarah Ghea dengan sebuah kecupan di kening.

As If I Love You [TERBIT]Where stories live. Discover now