Pertama Kali Wanita Berkebaya Merah Disebut

1.3K 34 0
                                    

Pada pukul enam pagi, Irma sudah merasa kelelahan. Setelah terbangun dari mimpinya, dia tidak bisa lagi tidur. Rasa pengar membuatnya sedikit terhuyung ketika melangkah ke kamar mandi dan membasuh wajah. Air dingin yang menyentuh kulit membuat kepalanya yang pusing sedikit berkurang.

"Pak Henry?" gumamnya, dia teringat Inggrid mengatakan untuk mencari pria itu agar membantunya. Saat ini, dia merasa seperti seorang detektif yang sedang menangani sebuah kasus pelik. Tentang permohonan bantuan dari Inggrid, dan tidak aktif nomor ponsel temannya itu, membuatnya sangat penasaran. Belum lagi mimpi aneh yang dia alami semalam. Instingnya mengatakan telah terjadi sesuatu pada Inggrid, walau dia sungguh berharap jika dugaannya itu salah.

Irma buru-buru mengeringkan wajah dengan handuk dan meraih ponsel. Sejenak dia menelepon rekan kerjanya di minimarket dan mengemis untuk dapat menggantikan shift-nya hari ini. Setelah beberapa perjanjian yang harus dipenuhi sebagai syarat, temannya itu menyetujui permintaan Irma.

"Baik, Pak Henry ... kalau tidak salah itu adalah nama bos di tempat Inggrid bekerja." Irma mengetuk-ngetukan ponsel ke dagunya sambil berpikir. "Apa ini berhubungan dengan pekerjaannya? Ah, sudahlah. Lebih baik aku ke sana dan menanyakannya sendiri, tapi ...."

Sesaat Irma tenggelam dalam keraguan, tapi lebih baik dia mencoba menemui Pak Henry terlebih dahulu. Perkara beliau ingin menemuinya atau tidak, itu urusan belakangan.

Irma memilih pakaian paling formal dan rapi, paling tidak Pak Henry tidak menolak bertemu hanya karena pakaiannya. Sepanjang jalan dia berulang-ulang mengucapkan dalam hati dialog yang akan ditanyakan kepada resepsionis. Jangan sampai dia ditolak terlebih dahulu oleh resepsionis perusahaan milik Pak Henry.

Ternyata kekhawatiran Irma tidak terjadi, Pak Henry mau menemuinya setelah mengetahui bahwa dia adalah teman Inggrid.

"Jadi, kau ini temannya Inggrid?" tanya Pak Henry sambil menyandarkan punggung, memberikan keleluasaan pada perutnya yang semakin buncit. "Bagaimana kabarnya dia dan Andro? Baik-baik, kan?"

Penekanan pada kata-kata terakhirnya, membuat Irma mengernyitkan dahi. Sepertinya pria di hadapannya mengetahui sesuatu yang Irma tidak tahu. Inikah mengapa Inggrid menyebutkan nama beliau untuk meminta bantuan?

"Begini, Pak, sebetulnya ... eng, saya datang kemari ingin menanyakan tentang Inggrid pada Bapak," ucap Irma hati-hati.

Pak Henry hanya menatap Irma dengan pandangan bertanya, jadi gadis itu melanjutkan berkata, "Ini mungkin bukan sesuatu yang penting, tapi ... sedikit membuat saya khawatir."

"Loh, memang apa yang terjadi?" Pak Henry memajukan badan sedikit, tertarik dengan hal yang akan Irma katakan selanjutnya.

Melihat sikap Pak Henry yang seperti ingin tahu tentang apa yang terjadi, Irma menjadi sedikit santai. "Kemarin sore saya mendapat telepon dari Inggrid. Dia meminta saya untuk menjemputnya di Jati Lanang, segera. Dia juga menyebutkan nama Bapak, untuk meminta bantuan. Itulah mengapa saya datang ke sini."

"Begitu, ada apa ya?" Pak Henry kembali menyandar ke kursi. Jarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan perlahan. Sesuatu yang secara samar telah dia rasakan akan terjadi, apakah menjadi kenyataan? Padahal dari awal dia sudah memperingatkan gadis itu. Kejadian lima tahun lalu, apakah terulang kembali?

"Pak?" Irma sedikit mengeraskan suaranya, karena beberapa kali dia memanggil tidak ditanggapi Pak Henry.

"Ah ya, maaf. Saya hanya memikirkan sesuatu."

"Yang membuat saya khawatir," lanjut Irma, "saya tidak bisa menghubungi nomor telepon Inggrid. Nomor Mas Andro pun tidak diangkat ...." Irma menggantungkan ucapannya, tadinya dia ingin menceritakan tentang mimpinya, tapi diurungkan.

"Begini, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, dulu ketika saya tahu bahwa Inggrid dekat dengan Andro, saya sudah mengatakan pada temanmu itu agar memikirkan lagi hubungan mereka. Dengar," Pak Henry memajukan lagi tubuhnya, kedua tangannya tertangkup di atas meja, "saya tidak mengenal Andro secara personal, hanya teman berbincang soal bisnis dan politik. Pernah berencana untuk kerja sama, tapi tidak pernah terjadi. Hanya sebatas wacana panjang yang buang-buang waktu."

"Ada sesuatu tentang Andro yang membuat saya waspada, entah apa ... saya sendiri tidak bisa menjelaskannya. Beberapa tahun yang lalu, ada juga karyawan saya yang memiliki hubungan dengan Andro. Lalu, gadis itu menghilang begitu saja. Beberapa bulan kemudian, gadis itu kembali dengan otak yang kurang waras. Datang ke kantor ini dan mencari Andro. Wajahnya kotor, pakaian lusuh, rambutnya awut-awutan ... pokoknya seperti gelandangan."

Irma menahan napas ketika mendengar cerita Pak Henry. "Seorang gadis gila juga pernah datang di hari pernikahan Inggrid dan Mas Andro," bisiknya. Dia teringat gadis gila yang mengedor-gedor jendela tempat pengantin wanita menunggu.

"Kenapa?"

Irma mengucapkan lagi kata-katanya dan menambahkan, "Mungkinkah itu gadis yang sama?" sambungnya.

"Saya sangsikan itu, kejadian dengan Yuni, nama gadis yang saya ceritakan tadi, sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Tidak mungkin itu adalah gadis yang sama."

"Inggrid tidak pernah menceritakan tentang Yuni ...," sedikit rasa kecewa terdengar dari suara Irma. Dia pikir, Inggrid akan menceritakan tentang segala hal dengannya, tapi kalau dipikir-pikir, gadis itu jarang menceritakan tentang Andro pada dirinya. Mungkin hanya saat kegundahaan Inggrid yang telah berbadan dua sebelum terjadi pernikahaan. Selebihnya, tidak banyak.

Pak Henry tersenyum simpati. "Hanya itu saja yang bisa saya ceritakan padamu, tidak lebih ...."

Irma sedikit kecewa, tadinya dia bisa meyakinkan diri jika kekhawatirannya sungguh tidak beralasan. Namun, cerita Pak Henry malah membuatnya semakin tersesat dalam kebingungan. "Bapak tahu tempat tinggalnya di Jati Lanang? Saya hanya ingin memastikan jika semuanya baik-baik saja."

Pak Henry menggeleng, tapi tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu, mungkin ada seseorang yang bisa membantumu." Tangannya menarik laci meja hingga terbuka, lalu mengeluarkan sebuah buku agenda berukuran sedang.

"Setelah kejadian Yuni muncul lagi di kantor ini, dan menghilang. Seseorang mendatangi kantor ini, mencari gadis itu. Ah, ini dia ... namanya Fadli," Pak Henry menggeser agendanya sampai ke hadapan Irma, jarinya mengetuk sebuah nama dengan nomor telepon di bawahnya. "Dia kakaknya Yuni, beberapa kali kami saling memberi kabar. Sepertinya dia pernah berkata akan mencari Yuni ke Jati Lanang, tapi tidak tahu juga bagaimana kelanjutannya. Sedangkan saya coba mengorek keterangan dari Andro, sayangnya tidak berhasil."

"Boleh saya?" Irma mengangkat ponselnya ke atas buku agenda, lalu memotret halaman itu. "Mungkin Mas Andro melakukan perselingkuhan? Lalu Inggrid meminta bantuan pada saya, pasti hanya masalah rumah tangga seperti itu, kan?" Irma tersenyum gugup, menyadari sepertinya dia hanya melebih-lebihkan masalah dan mencari alasan yang paling sederhana.

"Yah, sepertinya itu yang terjadi, hanya saja ...," Pak Henry diam sebentar, menimbang kata-kata yang akan dia ucapkan. "Inggrid sempat tidak masuk selama beberapa hari, sakit. Pada hari pertama dia kembali bekerja, tingkahnya sangat ... aneh."

Irma hanya memandang Pak Henry dengan tatapan bertanya, dia menunggu pria di hadapannya meneruskan cerita.

"Ada sebuah insiden saat istirahat makan siang, semacam perkelahian," lanjut Pak Henry tanpa merinci. "Pokoknya mereka dibawa ke kantor saya untuk menyelesaikan masalah. Lalu, saya meminta Inggrid untuk pulang dan beristirahat sampai dia benar-benar sehat. Wajahnya masih terlihat kuyu dan tidak sehat, menurut saya. Tapi mendengar permintaan saya, tiba-tiba dia berteriak histeris. Mengatakan dia dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat orang lain."

"Maksud Bapak, melihat hal-hal seperti apa?" Irma memajukan tubuhnya seperti takut pembicaraan mereka didengar orang lain, padahal di dalam ruangan itu hanya ada dirinya dan Pak Henry.

"Wanita berkebaya merah," bisik Pak Henry dengan misterius.

Gundik Demit (Update setiap Kamis)Where stories live. Discover now