Mbah Keling

649 27 0
                                    

"Aku tidak mengatakan ini kemarin," gumam Arya. "Tapi saat berada di rumah Andro, ada makhluk dengan energi sangat jahat yang tinggal di sana. Aku tidak dapat melihatnya, hanya dapat merasakan saja. Makhluk ini tidak seperti yang pernah kujumpai sebelumnya. Ini lebih jahat, jauh lebih jahat."

"Siluman?"

Arya menggeleng. "Lebih kuat dan lebih jahat dari itu."

"Menurutmu, mengapa ada makhluk sekuat itu di sana?"

Arya memandangi lantai sambil berpikir, sebuah kisah yang pernah didengarnya waktu kecil dulu. Tentang seorang nyai yang mendaulat dirinya sebagai pembawa kekayaan bagi warga sekitar. Tidak diketahui bagaimana wanita itu melakukannya, tapi dia memiliki kekuasaan atas warga dusun. Tidak ada yang berani menentang keinginannya. Menurut para orang tua, kisah nyai itu telah terjadi berpuluh-puluh tahun lampau. Nyai itu pun sudah lama mati, tanpa memiliki keturunan. Namun, menurut desas-desus warga dusun tersebut tetap sering melakukan ritual-ritual pemujaan.

"Sebuah hal jahat, tetap akan ada selama banyak orang masih memercayainya," renung Arya.

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu apa ini ada hubungannya atau tidak," lanjut Arya sambil memandangi tulisan pada kaus Fadli. "Sepertinya aku harus memastikan sesuatu."

Fadli memandangi Arya yang bangkit dari duduk dengan raut bertanya. "Ikutlah, jika kau ingin tahu," ajak Arya.

Setelah beberapa saat berkendara, mereka sampai di sebuah rumah sederhana. Rumah itu berada di antara tanaman kelapa dan pohon buah yang rimbun, hanya sedikit sinar matahari yang dapat menerobos rimbun dedaunan. Tanah di pekarangan terlihat lembab. Dari arah belakang, asap dan abu dari hasil pembakaran kayu tampak melayang-layang keluar dari celah antara dinding dan atap. Setumpuk dedaunan kering yang masih tampak lembab, terserak karena ayam-ayam yang mencari makan.

"Sebenarnya kita akan menemui siapa?" tanya Fadli.

"Mbah Keling. Dia banyak membimbingku dalam mengasah "kelebihan"ku ini."

Fadli mengangguk. Mungkin akan menjadi pembicaraan dengan banyak saling menatap pada perabot rumah tangga. Fadli mendengus sinis membayangkan hal yang akan terjadi.

Arya tidak mengetuk pintu untuk memanggil pemilik rumah, tapi langsung berjalan ke arah belakang sambil meneriakan ucapan salam. Pintu belakang terbuka, menguarkan bau rokok klobot  yang menyengat. Seorang pria dengan wajah penuh kerutan keluar, badannya tidak terlalu tinggi, rambut dan jenggotnya berwarna putih kekuningan, kulitnya hitam karena terlalu banyak terbakar sinar matahari, mungkin dari sana namanya berasal. Pada jari tangannya mengapit sebatang rokok yang terbuat dari kulit jagung.

"Loh ... Arya, ya?"

"Iya, Mbah. Kenalkan ini teman Arya, Fadli."

Kulit tangan tua yang terulur itu pun telah berkerut-kerut. Jari tangannya tampak bengkok, mungkin karena rematik atau pun penyakit lain yang datang ketika manusia sudah semakin uzur.

"Ah ya ... ya. Ayo, masuk, masuk." Dengan isyarat tangannya, Mbah Keling meminta kedua tamunya untuk masuk.

Mereka masuk lewat dapur yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya yang menerobos dari celah dinding gedek dan api dari tungku. Bau klobot sangat menyengat dicampur dengan asap bakaran kayu yang mencari jalan keluar. Fadli sedikit pusing, saat bau-bauan itu menyerang hidungnya, dia sempat menahan napas dan mengembuskannya kembali ketika mereka tiba di ruang depan.

Gundik Demit (Update setiap Kamis)Where stories live. Discover now