17. In the office

2.9K 471 42
                                    

Kim Namjoon

Kembali ke kampus setelah dua hari menghilang ternyata cukup berpengaruh pada kampusku, termasuk pada mahasiswa dan kelasku. Mahasiswa yang berpapasan padaku langsung berjalan cepat mendekatiku dan menanyai keadaanku. Apakah aku sudah baik-baik saja dan tidak sakit lagi. Padahal aku tidak benar-benar sakit. Hanya meliburkan diri untuk menenangkan diriku yang masih takut ke kampus. Takut bertemu Seokjin di jalan dan berakhir aku yang balik badan karena menghindarinya.

Aku cukup beruntung karena selama di perjalanan menuju kampus dan kantor, aku tidak mendapati presensi Seokjin dimana-mana. Meski aku harus berjalan seperti pencuri, mengendap-endap sambil melirik sana-sini dengan mata bergerak tak nyaman, agaknya lega karena tidak bertemu Seokjin sama sekali. Langkahku terasa ringan dan lega secara bersamaan, apalagi saat aku membuka pintu kantor.

"Seokjin?" tanyaku histeris, terkejut bukan main sampai mataku ingin keluar dari tempatnya.

Orang yang kuhindari selama sepuluh menit berjalan ternyata sudah menungguku di kantor. Dia sedang duduk di sofa, dan menoleh saat aku memanggilnya.

Agak beberapa detik kami hanya saling tatap. Tak ada satupun kata yang keluar dariku dan darinya. Tapi aku bisa melihat ada kegugupan di matanya yang bergerak kecil hendak mencari peralihan. Bibir tebalnya dilipat ke dalam mulut, dan kemudian dengan canggungnya membungkuk memberi salam.

"P-pagi, Pak." Dia berusaha untuk mengontrol suaranya tapi malah terdengar kentara sekali sedang gugup.

Aku pun juga sama. Malah aku memberinya senyum yang pasti terlihat sangat aneh dan canggung. "Pagi."

Kemudian aku menutup pintu dan berjalan menuju mejaku. Kulepas mantelku dan menggantungnya di gantungan mantel. "Ada apa kesini?" tanyaku tanpa melihatnya sambil duduk di kursi putarku.

"Saya datang hanya ingin tahu bagaimana keadaan Bapak setelah dua hari tidak datang ke kampus. Saya dengar anda sakit," jawab Seokjin sambil melirik bergantian antara wajahku dan tanganku yang sibuk menyalakan komputer.

Sibuk yang dibuat-buat agar tidak terlalu canggung. Tapi sepertinya malah semakin canggung.

Aku meliriknya sebentar, dan tersenyum. "Terima kasih perhatiannya, Jin. Saya hanya sedikit demam karena mabuk."

Iya, mabuk karenamu, Seok.

Anak itu kembali diam. Kepalanya tertunduk dengan tangan saling bermain gelisah. Hendak menyampaikan sesuatu tapi masih ragu.

Sementara aku masih berpura-pura sibuk dengan membuka daftar nilai mahasiswa--padahal bukan periode entry nilai. Aku bahkan me-login-kan akun media sosialku dan membuka tab notifikasi yang selalu ramai dengan komentar mahasiswa.

Padahal seharusnya aku bersiap-siap untuk kelas pagi dan Seokjin juga harus masuk kelas sekarang juga. Sebentar lagi kelas masuk. Tapi kami masih di sini. Bergelut dengan pikiran masing-masing dalam hening.

Sampai pada akhirnya Seokjin memecah keheningan dengan suara 'hmm'-nya yang panjang. Aku menoleh kecil ke arahnya, menatapnya yang masih menunduk dan menunggu kalimat apa yang akan dikatakannya.

Semoga dia tidak membahas 'itu'.

"Tentang dua hari yang lalu, Pak."

Oh Tuhan, aku mau mengubur diri saja.

"I-iya?" tanyaku gagap tanpa sadar.

"Kenapa Bapak mencium saya?"

Tidak ada jawaban sama sekali. Kami berdua mendadak tenggelam pada pandangan satu sama lain. Menatap dalam, seakan-akan sedang berbicara lewat mata. Hening sekali sampai aku hanya bisa mendengar suara detak jantungku dan juga suara ikan koi Seokjin yang ada di dalam akuarium. Sel-sel otakku sedang berperang memperebutkan kata 'pantas' pada argumen yang mereka lontarkan satu sama lain.

Seperti, 'Haruskah aku katakan kalau aku tak bisa lagi menahan diriku karena dia begitu menggoda?'

Atau, 'Hei, Kim Seokjin, itu hanya kecelakaan. Saya sedang berada di pengaruh alkohol. Maaf, ya!'

Oke, dua-duanya konyol sekali. Aku sampai pusing karena baru kali ini aku tidak bisa menemukan jawaban yang pasti untuk satu pertanyaan sederhana yang sebenarnya tidak perlu banyak penjelasan.

Kenapa aku menciummu, Kim Seokjin?

Sederhana!

Itu karena aku menyukaimu. Aku ingin mengklaim dirimu sebagai milikku dan itu dimulai dari bibir. Jadi apakah itu bisa diterima?

Tapi, nyatanya aku hanya seorang pengecut yang sudah beberapa menit tidak ada ucapan yang keluar sama sekali. Seokjin pun masih menungguku. Jemarinya bergerak-gerak gelisah di atas pahanya. Mata bulatnya agak sayu, dan daerah matanya menghitam. Sepertinya dia sedang sangat sibuk sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tapi meskipun begitu dia masih terlihat menawan di mataku.

Seokjin tampaknya lelah menunggu dan tiba-tiba menghembuskan napas panjang. "Jadi, kenapa, Pak? Apa saya harus ganti pertanyaannya?"

"Tidak," jawabku cepat. Hampir tidak sadar kenapa aku malah menjawab seperti itu. "Aku sudah dapat jawabannya."

"Apa pertanyaannya harus punya jawaban yang mesti dirumuskan dulu, Pak?" tanyanya sarkas sambil tersenyum miring.

Oh, Tuhan, dia mengira aku akan memberikan jawaban yang dikarang-karang. Bagaimana ini?

"Tidak. Saya sedang tidak mencoba mengelabuimu. Dan saya mengatakan ini bukan untuk pembelaan. Saya jujur mengatakan kalau ciuman itu tulus. Bukan karena saya ingin menggodamu, atau bahkan sebuah kecelakaan. Saya sedang berusaha membuktikan padamu kalau saya serius denganmu."

"Dengan cara mencium saya?" Seokjin semerta-merta memotong ucapanku.

Kugigit bibir bawahku dengan canggung. Ekspresinya yang terlihat menahan kesal itu membuatku gelisah. Seokjin sepertinya tidak suka aku menciumnya.

"Apa saya sudah salah menciummu?" tanyaku serius, meski sebenarnya aku takut sekali sekarang.

Seokjin pun menggeleng, membuatku mengerutkan kening. "Justru usaha anda untuk membuktikan kalau anda mencintai saya itu yang salah, Pak. Seharusnya ciuman yang membuat hati saya berbunga-bunga malah memupuk amarah saya pada anda. Apalagi saat saya tahu anda tidak datang dua hari. Malah menguatkan dugaan saya kalau anda menghindari saya setelah melakukan ciuman itu."

"Bukan begitu, Jin."

"Lalu, setelah itu saya tahu kalau anda sakit. Baiklah, saya tidak bisa menyalahkan yang satu itu. Tapi, saya lebih marah ketika melihat anda datang ke kantor ini, melihat saya seperti tidak pernah terjadi apa-apa, dan duduk di sana tanpa menanyakan bagaimana perasaan saya setelah ciuman itu."

Aku tertegun seketika. Fakta bahwa Seokjin terlalu tenang mengatakan hal itu membuatku ketakutan. Aku lebih suka melihatnya marah sampai menunjuk-nunjukku dengan jemarinya daripada melihatnya bicara beberapa kalimat namun tersimpan penuh amarah di dalamnya. Aku tak suka dan itu membuatku gelisah.

Reaksiku yang seperti orang bodoh membuat Seokjin berdecih dan tersenyum miring. Tenggorokanku mendadak kering melihatnya seperti itu.

"Seharusnya aku tidak bergembira sampai tidak bisa tidur. Bodoh sekali," gumamnya pada dirinya sendiri.

Dia pikir aku tidak mendengarnya, tapi aku dengan jelas dengar sampai aku terkesiap dan berdiri dari kursiku. Bersamaan dengan Seokjin yang juga berdiri dari sofa dan mengambil tasnya. Dari sini aku jadi bisa melihat seberapa lelah matanya menahan kantuk untuk beberapa malam ke belakang. dan itu karena aku.

Ciuman itu ternyata sangat berarti untuk Seokjin, tapi aku malah salah langkah dalam memberikan reaksiku. Aku jadi menyesal tidak memeluknya tadi pagi.

"Saya tidak akan melarang anda menyukai saya seperti yang anda lakukan selama satu bulan ini. Toh, saya juga menyukai anda. Tapi berikan saya waktu sampai saya benar-benar bisa melihat seberapa tulus anda pada saya, Pak. Bukan hanya karena penasaran bagaimana rasa tubuh saya, tapi memang tulus dari hati anda bahwa anda mencintai saya apa adanya. Permisi."

Satu bungkukan dalam selama dua detik darinya sebelum pergi meninggalkanku dengan muka tanpa ekspresinya. Suara debaman pintu bahkan terdengar sangat mengerikan di telingaku.

Seharusnya aku senang akhirnya Seokjin mengaku akan perasaannya. Dia mencintaiku juga.

Tapi, kenapa rasanya sesak sekali?

[*]

[END] His Smile  |  NamjinWhere stories live. Discover now