Satunggaling Tatapan Netra
"Yang pemberani itu yang memulai, bukan yang meneruskan atau yang melanjutkan. Yang bijaksana itu yang mempertahankan, bukan yang memulai lagi untuk diakhiri kembali"
Suara gendhing-gendhing Jawa mengalun lembut mengisi kesunyian malam. Begitu lembut. Sangatlah lembut. Seakan dahan-dahan ikut menikmati tiap-tiap tabuh, petikan, pukulan, dan suara keperak-perakan dari sinden yang mengalun merdu mengikuti irama dan tempo lagu. Pun halnya dengan jangkrik-jangkrik, burung-burung malam bahkan kunang-kunang sekalipun turut mendengar dengan seksama nada demi nada yang keluar dari sebuah pesta. Tak hanya itu, makhluk lain pun juga selalu menyambut gembira tembangnya dan alunan musiknya. Percaya tak percaya inilah sebuah kehidupan.
Semua adalah tentang pembelajaran. Petani akan berguru pada padi yang ditanamnya, sopir akan berguru kepada jalanan yang setiap hari dilaluinya, dokter akan berguru kepada tubuh manusia yang setiap hari dioperasinya, pun tak luput juga kami, para penabuh gamelan dan pengiringnya yang belajar dari gamelan yang kami tabuhi sendiri di setiap malamnya.
Kartini pernah menuliskan sebuah surat kepada sahabatnya, E.C Abendanon.
"Gamelan tidak pernah bersorak-sorai; sekalipun di dalam pesta yang paling gila pun, dia terdengar sayu dalam nyanyinya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai"
Surat dari Kartini, 15 Agustus 1902, kepada E.C Abendanon.
###Namaku Afrisda Arlingga Hadi Prayetno. Anak kedua dari dua bersaudara pasangan Hadi Prayetno dan Kusrini Pancawati. Bapak ku seorang dalang, dan Ibuku seorang sinden, atau penyanyi tembang-tembang Jawa yang menguasai nada pentatonik. Aku pun yang menjadi buah hati mereka, mau tidak mau harus tercebur dalam dunia itu. Iya, menjadi seorang sinden muda.
Usiaku bahkan belum genap di angka 20 tahun. Namun aku sudah mengarungi dunia gamelan dan gendhing-gendhing Jawa selama itu pula. Tampil di panggung sejak usia 12 tahun, mengisi masa-masa mudaku di sana.
Tidak sama seperti ibuku yang hanya menguasai nada pentatonik (Slendro dan Pelog), aku bahkan bisa menguasai semua genre lagu, dari; campursari, dangdut, pop, jazz, namun tidak untuk Rock. Terlalu berat untuk pita suaraku.
Selain menjadi sinden, aku juga menjadi salah satu mahasiswi di Universitas negeri di daerahku. Menjadi bagian dalam fakultas hukum. Jika ada yang menanyakan, mengapa tidak mengambil program studi kesenian saja?, jawabanku sederhana. "Kadang hidup juga perlu warna".
Seperti sekarang ini, aku akan pergi kembali setelah dua bulan aku tinggal di rumah kesayanganku. Liburan semesteran sudah habis, kuhabiskan dengan belajar nyinden dari satu daerah ke daerah lain. Bulan-bulan ini memang banyak tawaran manggung. Tapi, pendidikan tetap nomor satu untuk ku. Hari ini aku akan pamit untuk kembali belajar, menjadi mahasiswi semester 5.
"Lingga berangkat dulu ya buk" pamitku pada Ibu.
"Hati-hati ya nduk, jaga diri di sana baik-baik. Gadis cantik kayak begini, banyak yang nglirik" bisik Ibu seraya mengecup kedua pipiku.
" Iya, dengan doa Ibu" jawabku."Pak Lingga pamit, doakan cerdas ya?" ucapku pada Bapak seraya mencium tangan beliau.
" Iya nduk, jangan lupa makan, sholat, sama belajar yang rajin" nasihat Bapak lembut dengan membelai rambutku yang tertutup oleh jilbab paris.
" Assalamu'alaikum" salamku pada mereka yang langsung dijawab oleh mereka berbarengan.
Menjadi seorang anak rantau itu tidaklah mudah. Harus merelakan kasih sayang yang termakan oleh jarak. Jika orang lain berkata, jadi anak kuliahan di luar kota itu enak. Bisa hidup bebas tanpa ada yang membatasi, uang saku tinggal memanen di bank, kiriman dari rumah. Andai mereka tau yang sesungguhnya, perjuangan anak rantau yang berjuang mengentaskan kebodohan di kota orang seperti apa. Harus menahan lapar jika jatah bulanan habis untuk biaya tugas. Mengatur sedemikian rupa waktu untuk belajar, kuliah, kegiatan organisasi, dan kerja sampingan. Jujur, uang kiriman saja tidak akan cukup membiayai kebutuhan hidup di sana.
YOU ARE READING
BANTALA NUSANTARA (KISAH TNI & SINDHEN)
RandomKisah antara anggota TNI AD dengan Sinden muda. "Mengapa Bapak memilih saya, saya tidak bisa menyembuhkan Bapak jika Bapak tugas dan terluka nantinya. Mengapa tidak memilih dokter, perawat atau sejenisnya, yang bisa menjaga sekaligus merawat Bapak d...