Menjadi imam salat, tidak marah saat dibangunkan untuk salat subuh, cium kening sebelum pergi dan mengucap salam sebelum keluar dan masuk ruangan. Oke, bukan sesuatu yang berat sepertinya. Aku sudah terbiasa melakukannya dulu, waktu Mama masih ada.
“Mas.”
Aku mendengar pintu kamar diketuk pelan. Ini pasti ulah gadis itu. Memang jam berapa sekarang? Tak ingin diganggu, apalagi karena semalam harus lembur di kantor, aku menutup kepalaku dengan bantal. Supaya tidak bisa lagi mendengar suara gadis itu memanggil-manggil.
“Mas.” Ah, sial! Gadis itu kenapa tidak ada kapok-kapoknya, sih.
Aku meraih ponsel di atas nakas. Pukul 04.45 sekarang. Aku duduk, mengacak rambut dengan kasar, lalu turun menuju pintu. Membukanya dan mendapati wajah gadis itu nampak sudah segar. Bangun dari jam berapa dia memangnya? Ada senyum lebih lebar di wajahnya, bukan lagi rona takut seperti yang biasa aku lihat.
“Hmm, bisa nggak, sih, nggak ganggu sekali saja. Aku masih ngantuk. Mau tidur lagi.” Tanganku meraih handel pintu untuk menutupnya kembali, tetapi ….
“Mas lupa dengan kesepakatan kita? Tidak marah saat dibangukan salat subuh dan mau jadi imam salat saat di rum—“
“Iya, iya. Bawel. Tunggu sebentar.”
Aku meninggalkan gadis yang tersenyum lebar itu di depan pintu yang terbuka. Sementara aku pagi-pagi begini sudah dibuat kesal olehnya. Masuk kamar mandi, cuci muka, gosok gigi lalu mengambil wudu. Keluar dari kamar mandi, menuju lemari mencari sesuatu. Saat menemukannya, aku ragu untuk memakainya. Sudah berapa lama aku bahkan tak menyentuhnya sama sekali. Sekitar satu setengah tahu sepertinya. Setelah kematian Mama. Tak yakin aku siap memakai benda itu, aku putuskan meletakannya kembali. Memilih keluar dengan atasan kaus dan celana baru, yang jelas bukan yang kupakai saat tidur semalam.
Wajahnya kembali tersenyum saat aku keluar dari pintu kamar dan menemukannya sudah siap dengan mukena putih yang dia kenakan. Kualihkan pandangan ke sekitarnya. Sudah siap dua sajadah yang ditatanya di atas karpet, di ruang tamu. Aku melangkah menuju gadis itu.
“Mas sudah siap?” tanyanya masih dengan tersenyum. Kenapa harus banyak senyum, sih, pagi ini?
Aku hanya mengangguk lalu mengambil posisi, berdiri di sajadah yang digelar di depan tempat gadis itu.“Allahu Akbar.”
Dua rakaat selesai dengan baik. Lama tidak melakukannya, syukurlah aku tidak membuat malu di depan gadis itu. Salat selesai, aku beranjak berdiri untuk kembali ke kamar. Namun, gerakanku terhenti saat tiba-tiba Azale ikut berdiri tepat di depanku. Tak menunggu lama, tanganku diraihnya lalu dicium cukup lama. Dia memang sudah sering melakukan itu, tetapi tetap saja sikapnya ini membuatku kaget. Aku membiarkannya sampai benar-benar melepas tanganku.
“Makasih, ya, Mas,” katanya sambil menatapku. Tersenyum diakhir bicara. Sial benar aku pagi ini. Disuguhi banyak sekali senyuman dari gadis itu.
“Iya.” Aku buru-buru melangkah pergi. Tak ingin berlama-lama melihat senyum dan mata berbinar itu.
***
“Diminum, Mas.”
Azale datang saat aku tengah duduk di sofa ruang tamu. Memeriksa data perusahaan sebelum siap masuk kerja pagi ini. Jam dinding ruang tamu menunjukan pukul 05.27. Bunyi gelas diletakan di meja terdengar, sementara mataku fokus menatap layar laptop di pangkuan. Aku meliriknya sebentar.
“Kok, susu? Aku mau kopi, seperti biasa. Ganti itu,” perintahku tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaan. Dia tak menjawab, tetap bergeming di depan meja kaca yang memisahkan kami. Membuatku mengernyit heran, lantas beralih memandangnya.

CZYTASZ
Cinta Azalea (Bukan) Suami Impian
RomansKisah perjuangan gadis yang hidup sebatang kara, menemukan kebahagiaan.