14

4.2K 421 33
                                    

Ditempat lain, di kediaman keluarga Wijaya terlihat seorang gadis tengah mondar-mandir di depan kamar kakak kesayangannya. Kadang ia berhenti dan memegang kenop pintu, kemudian tidak jadi membukanya. Menarik nafas pelan kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Tangannya bergerak membuka pintu didepannya, pintu terbuka.

"Ngapain berdiri disitu? Masuk"

Nandira menekuk wajahnya, berjalan menuju arah Abangnya itu dengan menghentakkan kakinya.

"Kenapa? Jelek banget mukanya"

"Isss, Abang nyebelin"

"Kenapa si? PMS? Nongol-nongol langsung marah"

Nandira tak menjawab, yang dilakukannya ialah duduk di ranjang sambil menggoyang-goyangkan kakinya tanpa hendak berkata apapun.

"Aneh, ada apa si? Abang ada salah?" Tanyanya

Nandira kemudian menghentikan kegiatannya, menghadap ke arah Nagendra Wijaya sang kakak satu-satunya.

"Abang nggak salah, tapi Dira lagi kesellll" ujarnya

"Baru pulang joging juga, kesel kenapa?" Tanya bingung

"Iiis, coba bang Gen tadi ikut"

"Lah kok gitu, coba ceritain ada apa"

"Emm, tadi ketemu sama temen. Dira kesel kok kalo Dira dekat sama dia jantungnya Dira kayak mau copot, tapi Dira senang kalo dekat dia" jelas Dira menggebu-gebu

"Dekat sama siapa? Cowok kan bukan cewek?"

"Abanggg, cowoklah masa cewek. Dira kan bukan lesbian" ujarnya kesal

"Alhamdulillah, berarti nggak apa-apa. Kan normal"

Nandira mengerutkan keningnya, bingung dengan ucapan dari sang kakak.

"Kenapa? Kok mukanya gitu?" Tanya Gendra

Ia menggeleng, "kok normal bang?" Tanyanya bingung

Gendra mengusap kepala Dira, kemudian tersenyum kearah adik manisnya itu.

"Iya normal, itu tandanya Dira jatuh cinta" jelasnya

Raut wajah Dira kini terlihat sangat kesal dengan mata menatap tajam kearah Gendra.

"Abang nyebelin" ujarnya, kemudian bangkit keluar kamar dengan membanting pintu kencang.

Gendra hanya bisa tercengang dengan tingkah sang adik, apakah ia mengatakan suatu kesalahan? Tapi akhirnya ia tersenyum juga mengingat jika adik itu telah jatuh cinta. Cinta pertama bagi adik perempuannya itu.

***

Tak terasa hari ini sudah kembali pada awal pekan, senin dengan segala kesibukannya. Nata beranjak dari kamarnya menuruni tangga dengan sedikit berlari.

"Jangan lari-lari gitu dek, nanti jatuh" peringat Dinda dari arah meja makan, tangannya yang nampak sibuk dengan roti dan selai coklat ditangannya tak membuatnya berhenti mengomel.

Nata tersenyum, entah mengapa suasana hatinya sangat baik hari ini.

"Pagi Bunda"

"Pagi, kenapa dek? Kok senyum-senyum gitu?" Tanya Dinda

"Nggak Bun, Nata nggak apa-apa. Yang lain mana, kok belum ada?"

"Bentar lagi mungkin, adek tu yang kecepatan. Liat masih jam berapa?"

Nata mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding pukul 05.20, ia menggaruk tengkuknya dengan cengiran di wajahnya.

"Nata panggil dulu deh Bun" ujarnya berjalan menjauhi meja makan, Dinda hanya menggelengkan kepalanya.

Nata membuka perlahan pintu di depan, mengedarkan pandangannya keseluruhan isi kamar. Pintu kamar mandi terbuka, Byan keluar dari sana. Ia seperti baru selesai mandi, terlihat dari rambutnya yang masih basah dan ia hanya mengenakan handuk.

"Ngapain?" Tanyanya melihat Nata

"Mau ngajak kak Byan sarapan" ujarnya pada Byan

"Duluan aja, mau pake baju dulu"

Nata menjawab dengan tangan membentuk "ok" kearah Byan kemudian keluar dan menutup pintu kembali.

Membuka perlahan pintu kamar milik Arkan, kemudian menyembulkan kepalanya terlebih dahulu. Dilangkahkan kakinya ke tempat tidur yang terlihat seperti gundukan selimut disana, pasti Abangnya itu masih tidur. Terlintas ide jahil di kepalanya, dengan langkah pelan ia berjalan mendekati tempat tidur.

"Kebakaran, kebakaran" teriak Nata kencang

"Mana? Dimana?" Arkan yang terkejut mendengar teriakan kencang seketika bangun dari tidurnya.

Nata tertawa terbahak-bahak, tangannya memegang perutnya yang sakit akibat tertawa, dan matanya yang menyipit terlihat sedikit mengeluarkan air di sudut matanya. Sungguh lucu reaksi Abangnya itu. Arkan yang melihatnya hanya memutar bola matanya geram, acara tidur nyenyaknya diganggu oleh keusilan Nata.

"Nggak ada kerjaan ya, pagi-pagi udah ngerusuh aja" ujar Arkan dengan muka galaknya

"Hahaha, bang Arkan lucu banget sumpah" ucapnya masih dengan tawanya

"Lucu apanya, jantungan iya" serunya dengan geram

"Ahh, bang Arkan gitu aja marah, lagian pagi-pagi masih tidur aja. Rezekinya dipatok ayam tu, pantesan masih jomlowan"

"Apa tadi jomlowan? Apa hubungannya sama tidur adek ganteng?"

"Abang males-malesan mana ada yang mau, dasar jomlowan" ujar Nata menjulurkan lidahnya kemudian berlari keluar dari kamar Arkan.

Arkan yang kesal berlari mengejar Nata, dengan meneriaki nama anak itu memintanya berhenti berlari. Suara kegaduhan yang diwarnai dengan tawa dan umpat dari Arkan menggema ke seisi rumah. Aksi kejar-kejaran terhenti saat sang Bunda memperingati mereka dari lantai bawah dengan suara yang terdengar di seluruh penjuru rumah. Dengan sangat terpaksa Nata dan Arkan menyudahi kegiatan mereka.

"Nggak usah lari-larian gitu, nanti kalo jatuh gimana?"

"Maaf Bun" ujar Nata dan Arkan bersamaan. Dinda menggelengkan kepalanya, pagi-pagi sudah disambut dengan penuh kegaduhan oleh kedua putranya.

Byan hanya tersenyum melihat Nata dan Arkan yang kini menunduk mendengar omelan dari sang Bunda. Adi yang baru keluar dari kamarnya mengerutkan keningnya, melihat Nata dan Arkan yang berdiri dengan kepala menunduk dihadapan Dinda.

"Sarapan dulu, nanti diterusin lagi ngomelnya" ucapnya

"Mas" ujar Dinda kesal

"Gitu dong dari tadi" gumam Nata pelan

"Apa?" Sahut Dinda

"Adek Bun, Abang nggak ngomong apa-apa" ujar Arkan menunjuk Nata

"Tadi Nata bilang Bunda cantik gitu Bun" ucapnya diakhiri dengan senyum

"Bisa aja" sahut Byan tiba-tiba

"Ya sudah Abang sama adek duduk, sarapan dulu" ucap Adi

Sarapan pagi berjalan dengan baik, dengan sekali-kali teriakan dari Arkan atau Dinda yang memperingatkan Nata untuk tidak berbuat ulah. Byan tersenyum, namun bukan senyum kebahagiaan yang terlihat. Ia tersenyum miris akan keadaaan, melihat Nata dengan seragam sekolahnya sungguh membuatnya iri. Apalagi dengan sikap Nata yang selalu bisa membuat suasana menjadi lebih hidup, berbeda dengan dirinya yang selalu saja merepotkan.

Sekilas Nata melihat kearah Byan yang duduk dihadapannya. Mata itu terlihat menyembunyikan suatu kesedihan, wajahnya yang sendu tampak jelas sebagai pendukung asumsinya. Ia mengerti, paham akan perasaan kakaknya itu. Bukan karena mereka kembar, namun sangat jelas tergambar dari sorot mata yang diperlihatkan oleh kakaknya itu.

Lain halnya dengan Arkan yang sedari tadi hanya diam mengamati. Melirik pada Nata yang sesekali menatap Byan. Meskipun kembar, ia tau kedua adiknya tidak memiliki ikatan batin yang kuat. Namun dari tatapan yang diberikan Nata ia tau, Nata sangat perduli pada Byan.

***

Bersambung...

Kita BedaWhere stories live. Discover now