10 - gitar

101 13 1
                                    

            Pagi ini aku terbangun setelah tertidur dengan nyenyak. Aku agak bingung ketika bangun karena yang aku tahu terakhir kali aku berada di ruang tengah bersama Yoongi sambil mendengarkan musik. Tahu-tahu sekarang sudah jam 7 pagi dan aku berada di kamar.

Dengan cepat aku berjalan keluar kamar untuk melihat apakah Yoongi sudah bangun atau belum.

"Oh my God, kenapa diaryku ada padanya?" Aku kaget ketika melihat diary-ku berada di dekapan Yoongi ketika lelaki itu tertidur. Aku gelisah setengah mati. Aku yakin Yoongi sudah membaca diary memalukan itu. aku jadi menyesal telah menaruhnya di sembarang tempat.

"Nnggh," Yoongi menggeliat ketika tangaku berusaha untuk mengambil diary tersebut. Perlahan matanya membuka dan langsung membulat ketika melihat aku yang telah berada di depannya.

"Yoongi-ssi, kemarikan diary-ku, kenapa bisa ada padamu?" ujarku pada Yoongi yang tampak mengucek-ngucek matanya. Dia tampak tak ingin memberikan diary itu padaku karena dia menyembunyikannya di balik punggung.

"Hana, diary-mu untukku saja ya, sepertinya aku mendapat inspirasi membuat musik dari sini." Kata Yoongi lalu menguap sekali.

Oh, ayolah, mana mungkin seorang bintang besar sepertinya mendapatkan inspirasi dari buku diary memalukan seperti ini.

"Kembalikan, Yoon," aku berusaha mengambilnya, namun Yoongi bangkit berdiri dan mengangkat buku itu tinggi-tinggi, sehingga ketika melompat pun aku tidak berhasil meraihnya.

Dddrrrttt... dddrrrttt...

Hp Yoongi bergetar di saku celananya. Segera dia mengambil benda pipih tersebut dan mengangkat telepon dari Manajer Sejin. Sedangkan dia tetap setia mengangkat diaryku tinggi-tinggi sehingga aku tidak bisa menggapainya.

"Halo, Manajer," sapa Yoongi ketika sambungan telepon menyala.

"Halo, Yoongi, sebentar lagi kau sudah bisa pergi dari sana. Aku sudah menyuruh beberapa orang untuk mengalihkan keberadaanmu di sana."

Yoongi bernapas lega mendengar itu. "Baiklah, terima kasih bantuannya."

"Aku akan kesana setengah jam lagi." Setelah mengatakan itu, Yoongi kembali mengucapkan terima kasih dan sambungan telepon segera tertutup.

Aku yang samar-samar mendengar suara Manajer Sejin di seberang sana langsung bertanya karena penasaran. Tak kuhiraukan lagi diary-ku yang masih dia angkat tinggi-tinggi.

"Jadi, kau akan pergi?" tanyaku dengan raut wajah sendu. Bukan mauku menunjukkan ekspresi itu, hanya saja aku benar-benar sedih ketika mengetahui dirinya akan segera pergi.

"Aigoo, kau sedih?" Yoongi mencubit pipiku. Wajahku memerah dibuatnya. "Aku pergi setengah jam lagi, bukan sekarang."

Aku luamayan senang mendengarnya. "Kalau begitu kembalikan diaryku, kau tidak akan membawanya, kan?" Aku mencoba meraih diary yang tadinya sempat diturunkan oleh Yoongi. Dengan cekatan, Yoongi memasukkan diaryku ke dalam bajunya.

Aku melotot dibuatnya. "Ambillah, jika kau berani." Tantangnya.

Aku mendengus kesal. Mana mungkin aku berani mengambilnya.

Aku duduk di sofa dengan mengerucutkan bibir. Kulihat Yoongi terkekeh ringan dan duduk di sampingku juga. Kulihat matanya berpencar untuk mengamati setiap sudut di ruanganku.

"Maaf, apartemenku kecil. Apa kau tidak nyaman tidur di sofa?" tanyaku yang melihat matanya bergerak terus.

Yoongi memberhentikan matanya di manik mataku. "Tidak. Aku bahkan mendapatkan tidur yang nyenyak. Apartemenmu nyaman." Ujar Yoongi.

My MinWhere stories live. Discover now