Bab 4

1.2K 133 11
                                    

"Gimana? Paman udah usir?" cerocos Ian saat mendengar pintu kamarnya kembali terbuka. "Menyebalkan sekali, kemarin dia masuk rumah tanpa izin. Paman pasti lupa ngunciin pintu depan, ya?"

Ian bangkit dari ranjangnya. Punggungnya terasa nyeri hingga rasanya tidak tahan untuk tidak terus dipegangi. Sudah mirip kakek-kakek usia enam puluhan.

"Paman, bisa anter aku ke kamar mandi? Badanku jadi agak pegal karena acara bersih-bersih kamar semalam," pinta Ian dengan cerewetnya.

"Paman?" panggilnya karena tak mendapat tanggapan.

Kemudian, Ian merasakan tubuhnya dipapah, diajak berdiri. Mungkin pamannya berniat menuntunnya ke kamar mandi. Tapi ... tunggu. Benarkah itu tangan pamannya? Kenapa terasa jauh lebih kecil? Bukan kecil, tetapi ini kering kerontang, tidak berdaging dan tidak berlemak.

Ian menyentuh dan meremas lengan pamannya.

"Loh, sejak kapan Paman kurus begini? Apa kehilangan Tante Betty sampai bikin Paman stress dan lupa makan?"

"Paman, aku kan sudah bilang. Tante Betty itu bukan wanita yang cocok buat Paman. Aku lebih suka Tante Merry, dia baik dan suka memasakkanku makanan lezat."

"Paman jangan diam saja, dong," keluh Ian karena pembicaraannya tidak direspon.

Tangan Ian pun terulur untuk menemukan kepala pamannya. Ia hendak meraba wajah lelaki berumur pertengahan empat puluhan itu. Belum juga niatnya tercapai, tangannya sudah ditampar duluan. Ian jadi sangat kaget dibuatnya.

Karena terasa panas, ditiupinya kulit bekas tamparan yang kini terlihat memerah. Ian bahkan tak dapat berkutik, ia diam tapi otaknya berpikir. Paman Rudi tidak pernah memperlakukan dirinya seperti itu. Paman Rudi paling suka kalau wajahnya diraba-raba. Katanya nikmat, seperti dipijat.

"Paman?"

"Maaf. Sakit, ya?"

"Kamu?!"

"Wah, tidak terduga. Pamanmu mengizinkanku masuk ke sini."

***

"Aduh, maaf Dek Fio. Sakitnya sudah mendingan belum?

Di ruang tamu, Rudi mengambilkan plester dan melekatkannya pada siku kiri Fio yang tadinya lecet dan mengeluarkan darah. Respon Ian terlalu berlebihan, bisa-bisanya ia mendorong tubuh gadis itu sampai-sampai terjatuh mencium lantai hanya karena terkejut.

Ian duduk tegang dengan wajah kakunya, sementara Fio masih tersenyum manis menahan perih yang menjalar. Tidak, gadis itu sama sekali tak membenci Ian. Pepatah bilang, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Sama halnya saat ia ingin mendapat teman. Perjuangan perlu dilakukan agar hati Ian yang keras bisa berubah jadi lunak. Fio yakin, ada setetes kelembutan di balik hati Ian yang sekeras baja.

"Udah, Om. Ini nggak sakit, kok. Cuma sedikit cenut-cenut," ujar Fio.

"Dek Fio bisa saja. Om bikinin minum, ya. Biar Ian yang menemani Adek di sini."

"Paman, ngapain dibuatin minum? Maling itu nggak pantes bertamu di rumah kita!" cegah Ian.

"Maling yang mana, Ian? Yang ada di depanmu itu tamu paman."

"Tamu dari Hongkong?"

Rudi memilih mengabaikan keponakannya. Tubuhnya yang menjulang, berjalan menuju dapur. Fio tak mau membuang kesempatan. Gadis itu mulai mengajak bicara Ian. Tapi, respon yang sama tetap ia dapatkan. Ditolak.

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGWhere stories live. Discover now