Bab 13

985 101 9
                                    

Ian, laki-laki yang seharusnya bangga karena mendapatkan lagi harta berharganya berupa pengelihatan itu justru terlihat murung. Pada normalnya, orang akan melakukan aktivitas yang belum sempat mereka wujudkan sewaktu masih buta selagi mereka diberi kesempatan melihat. Mereka bisa saja melakukan travelling, menonton di bioskop, atau malah berkecimpung dengan banyak orang untuk menemukan teman baru. Sebaliknya, yang dilakukan Ian hanyalah melamun dan mengurung diri di kamar.

Ia mengambil duduk di dekat jendela. Gedung perkantoran itu tampak menatapnya iba, juga tampak menantang Ian dengan bertanya, "apakah kamu akan ke sini hari ini? Pria yang malang."

Ian menghempaskan kanvas dengan kayu penyangga yang terletak di sebelahnya. Kuas yang tadinya ia pegang, Ian lempar sembarangan. Ian mengacak rambutnya seperti orang kesetanan. Sudah berhari-hari Ian berhenti melukis, meski sebelumnya ia sudah berusaha memegang kuas, tetap saja tak muncul inspirasi dan imajinasi di otaknya. Padahal, melukis adalah surga baginya. Tempat di mana ia merasakan ketenangan dan penghiburan. Seperti sebuah meditasi yang mampu menghapus jejak-jejak penyiksaan masa lalu yang menghampirinya. Lebih dari sekali Ian mempertanyakan hatinya, ada apa dengannya? Kenapa gairah melukisnya mendadak lenyap? Kenapa ia terlihat lemah karena ketidakhadiran gadis itu?

"Fio ...," bisiknya pada diri sendiri. "Apa kamu tahu, betapa hancurnya aku saat ini karena kehilangan kamu?"

Ian meraup wajahnya kasar. Hari ini ia mengurungkan kehendaknya untuk mampir ke gedung itu lagi. Ian sudah bosan jadi topik pembicaraan para karyawan yang ada di sana. Siapa pun yang berpapasan dengan lelaki itu, pasti kata pertama yang diucapkan adalah kasihan. Mungkin ia tampak tak acuh, tapi dalam pikirannya, kata-kata kasihan cukup mengambil tempat.

Rupanya aku sememprihatinkan ini, ya? Sejak kapan kamu memedulikan pendapat orang lain, Ian?

Lelaki itu lalu menutup tirainya, menghentikan aktivitas tidak bergunanya itu. Ia pun mengabsen satu persatu lukisan yang terpajang di setiap sudut kamarnya. Ia tak menyangka, kedatangan Fio membuat lukisannya lebih bervariasi. Ian dapat menggambar banyak hal, tidak lagi terfokus pada ingatan masa lalunya yang membekas.

Namun sekarang? Tangan yang mahir itu seolah tak berguna. Pikirannya dikuasai oleh Fio. Gadis itu hilang bersamaan dengan bakat melukisnya yang entah terbang ke mana. Dengan sedikit amarah, Ian memunguti lukisan itu satu-satu. Ia lalu membawa semua barang tersebut ke gudang. Menguncinya di tempat gelap dan berdebu itu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.

***

"Kakak ngapain masih ngikutin aku? Udah, balik aja ke resto."

"Tujuan aku ke sini bukan hanya mengantarmu, Fi. Melainkan juga memastikan kamu baik-baik saja."

"Ayolah, Kak. Aku ke sini buat nemuin dosenku, bukan ketemu sama penculik, pembunuh, apalagi tukang cabul."

Fio tiba di depan ruangan dosennya. Hari ini, ia meminta izin dari kantor agar diperbolehkan ke kampus di jam makan siang. Ia harus mengurus skripsinya. Entah bagaimana caranya Aaron bisa tahu rencana Fio, lelaki itu menjemput Fio tepat waktu dan ikut mengantarnya sampai ke ruangan sang dosen.

Mungkin Aaron berlebihan. Tetapi, bagi lelaki 23 tahun itu menjaga Fio adalah hal yang sangat krusial. Selama menempuh pendidikan empat tahun lebih di Italia, Aaron ingin melampiaskan segala tanggung jawab yang belum sempat ia penuhi itu sekarang. Bahkan, membuntuti Fio ke mana pun gadis itu pergi bukan menjadi masalah untuknya. Lagi pula, Miranda tak memberatkan agar Aaron terus-menerus berada di resto, mengingat lelaki itu adalah manager baru di sana. Miranda mendukung sikap Aaron yang protektif terhadap putrinya.

"Fi, hati-hati, ya. Aku tunggu di luar," ucap Aaron dengan tangannya yang mengelus puncak kepala Fio.

Siapa saja yang memperhatikan kedekatan mereka berdua, pasti mengira Fio dan Aaron menjalin hubungan. Pernah sekali Fio dituduh yang tidak-tidak. Pada waktu SMA—masa terburuknya—Fio dikira memakai susuk, jampi-jampi atau mantra sehingga Aaron bisa terpikat olehnya. Tak ada yang percaya bahwa Fio dan Aaron adalah sepupu. Mereka menciptakan hukum, di mana orang jelek tidak punya hak untuk dipercayai sepenuh hati. Fio menertawakan hidupnya yang cukup susah di masa lalu. Betapa bodohnya ia karena dulu hanya diam saja saat didiskriminasi oleh orang lain. Sekarang, gadis itu sudah bertumbuh dewasa. Pemikirannya juga jadi lebih sensitif, Fio tak mau dengan gampangnya dibodohi. Hanya saja, menurut Aaron, Fio masihlah anak kecil polos hingga harus mendapat perlindungan ekstra. Lagi pula, lelaki itu telah bernazar pada Bramantyo, bahwa sepeninggalan pria itu Aaron akan menjaga Fio dengan sebaik mungkin.

Aaron menatap gelisah ruangan berkaca buram dan kedap suara tersebut. Fio sudah masuk ke dalamnya. Walaupun gadis itu telah mewanti-wanti agar Aaron tak terlalu khawatir, namun tetap saja, Aaron tak bisa berhenti mencemaskan keadaan Fio barang sedetik pun.

Lelaki itu menggeram saat ponsel di saku celananya berdering. Ada panggilan masuk dari Miranda, wanita tersebut memberi kabar kalau di resto sedang kedatangan tamu penting. Tentu Aaron tak bisa mengabaikannya. Tak ada pilihan lain selain meminta Fio untuk kembali ke kantor dengan naik taksi.

***

"Ini, Pak, uangnya."

Fio tergesa-gesa. Tidak terprediksi sebelumnya kalau acara konsultasi skripsi bersama si dosen pembimbing berjalan cukup lama. Fio hampir terlambat balik ke kantor. Segera ia mengenakan kartu pengenalnya dan berjalan cepat ke dalam gedung.

Yang perlu ia lakukan hanyalah menyeberang jalan. Namun, betapa sialnya hari ini! Banyak sekali kendaraan bermotor yang hilir mudik di depannya, membuat Fio kesulitan sampai di kantor tepat waktu.

Tanpa memikirkan apa pun lagi, Fio memberanikan diri menerobos kepadatan lalu lintas. Beberapa mobil membunyikan klakson karena hal nekat yang dilakukan gadis itu. Hingga, di tengah jalan, sebuah mobil hampir saja menghantamnya. Fio berhasil lolos dari maut sebab seseorang menarik tubuhnya ke pinggir.

Sekarang, Fio dapat bernapas lega. Jantungnya masih berdesir hebat. Rasanya seperti mau meledak. Fio tak bisa membayangkan, seorang malaikat maut datang dan melambaikan tangannya untuk menjemput pulang. Setampan apa pun malaikat tersebut, Fio tidak akan mau ikut. Perjalanan kariernya masih panjang, cita-citanya untuk mengembangkan usaha sendiri belum terwujudkan. Papanya bisa mengomeli Fio habis-habisan jika mereka bertemu di akhirat karena mengetahui anaknya gagal menjadi manusia yang sukses.

"Syukurlah ... terima ka-" ucap Fio terhenti.

Ya ampun! Ian?

Otomatis Fio mengalihkan wajahnya. Tubuhnya masih tersungkur di trotoar bersamaan dengan tubuh lelaki itu.

Apa Ian sudah melihat wajahku? A-apa dia sudah tahu kalau aku Fio?

"Untung kamu nggak mati, ya?! Kalau mau celaka, jangan menyeret orang lain, dong! Lain kali perhatikan jalan, ck, semua manusia itu suka sekali menyusahkan!"

Kamu masih sama, ya, Ian. Masih saja kasar dan berbicara pedas pada orang lain. Suasana hatimu pasti sedang sangat buruk.

"Maaf ...," kata Fio bernada resah.

"Tunggu, kamu bilang apa?"

"Maaf ...," ujarnya lagi lebih keras.

"Apa aku mengenalmu? Suaramu tidak asing di telingaku."

Fio terkejut, ia menelan ludahnya kasar. Tenggorokannya langsung tercekat mendengar kalimat Ian barusan. Sekarang, kamu pakai alasan apa, Fi?

"Apa kamu Fio?"

Dada Fio bergemuruh hebat. Tubuhnya kini gemetaran. Gadis itu mematung di tempat sementara Ian terus berusaha menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan yang sulit dijawab.

Tuhan, selamatkan aku dari situasi ini.

***

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGWhere stories live. Discover now