10. Taruhan

41 10 4
                                    

Hari-hari berikutnya berjalan dengan baik, lebih tepatnya mengusahakn semuanya supaya berjalan dengan baik. Nara sudah lupa kejadian hari itu, sepertinya ada permulaan yang bagus, sepertinya tak akan ada lagi adu mulut omong kosong di rumahnya. Semua itu terbukti dengan ia yang menghabiskan waktu sarapan di meja makan dengan kedua orang tuanya, disertai obrolan ringan dan senyum mengembang.

Ia jadi mempercayai mantra “everything will be fine”, ketika ia mempercayai bahwa semuanya akan baik-baik saja, ternyata semuanya memang berjalan baik-baik saja.

Tapi sepertinya mantra itu tidak berguna untuk saat ini. Di dalam sebuah ruangan kelas dengan suasana ricuh Nara sudah duduk pasrah di kursinya dengan rambut yang acak-acakan sebab ulahnya beberapa menit yang lalu saat soal fisika di mejanya minta dikerjakan.

Semua siswa sudah terduduk pasrah di kursinya masing-masing tat kala guru mata pelajaran merebut dengan paksa kertas ulangan, membuat semua siswa mendesah keras.

Padahal ulangan hari ini sudah direncakan seminggu yang lalu, tentu saja semua siswa sudah mengantisipasi hari ini, tapi entahlan mungkin keberuntungan sedang menjauhi mereka, karena soal ulangan nyatanya berbeda dengan soal latihan.

“Nilai gue gimana?” ini bukan pertanyaan untuk siapa pun, kecuali Nara mempertanyakan ini untuk dirinya sendiri, kini ia sudah menumpukan kepalanya di atas lipatan tangan yang ia buat sendiri, pasrah akan nilai ulangan fisiknya. Padahal ini semester 5, dimana semester ini bagaikan jurang bagi anak kelas 12.

“Keluar yok cari angin,” Chaeyoung sama stresnya dengan Nara, ia menarik tangan Nara sehingga gadis itu mendongak.

Nara menurut saja saat tangannya ditarik oleh Chaeyoung keluar kelas. Benar saja udara di luar lebih segar, suasana di dalam kelas terasa sangat panas. Hampir setengah populasi kelas sekarang sudah berada di luar, sekedar menghirup udara segar setelah melewati ulangan yang penat.

Chaeyoung yang berdiri di samping Nara sudah menutup mata dengan tangan diangkat terbuka ke atas, dadanya membusung menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Sementara Nara menumpukan tangannya di atas pembatas, menatap lapangan di bawah sana yang sedikit basah akibat gerimis tadi pagi.

“Kayaknya lo butuh gue deh,” Nara tersentak mendengar suara yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Hah?”

“Gue bilang kayaknya lo butuh aqua deh,” pemuda tinggi yang tiba-tiba muncul itu mengulang ucapannya.

“Kok?” Nara masih mumet.

“Itu lo mumet gitu, tandanya lo butuh asupan oksigen dan air mineral,” ujar Guanlin yang kini sudah menyandarkan tubuhnya menyamping pada pembatas, sepenuhnya memfokuskan diri pada gadis yang jauh lebih pendek darinya itu.

“Sejak kapan lo di situ?” tanya Nara melihat Guanlin yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

“Sejak Pak Dudung keluar,” jawabnya sembari melirik sedikit pintu kelasnya.

Nara ikutan melongok, benar saja kelas pemuda itu sama-sama ramai seperti kelasnya, bahkan ada yang keluar kelas sekedar berdiri gak jelas seperti dia.

“Gue abis ulangan fisika,” Nara tiba-tiba mengadu.

“Cetek itumah,” ujar Guanlin percaya diri.

“Emang lo udah ulangan?” tanya Nara, kini mengalihkan pandangannya, menatap Guanlin.

“Nanti jam pelajaran terakhir,” jawab Guanlin.

Tiba-tiba Nara menegakkan tubuhnya, “Gue kasih tau, asli bener gak bohong lo bakalan mumet,” ujar Nara berapi-api, menjelaskan seperti yang terjadi padanya saat mengerjakan soal ulangan fisika tadi.

“Ck, yang ada nilai lo lebih jelek dari gue,” celetuk Guanlin yang kini beralih menatap lapangan yang sebelumnya menjadi pusat perhatian Nara.

“He mana ada, gue udah belajar semaleman juga gak bisa ngerjain tau,” Nara tidak terima disumpahi begitu, walau sebenarnya dia udah pasrah sama nilai ulangan fisiknya.

“Makanya punya otak itu dipake,” ujar Guanlin sambil mendorong dahi Nara ke belakang dengan telunjuknya, membuat gadis itu mendecak kesal.

“Oke, kita taruhan,” sebuah ide konyol tiba-tiba melintas di otak gadis berambut sepunggung itu, membuat Guanlin mengernyitkan alis bertanya-tanya.

“Sok berani banget lo bocil,” Guanlin tersenyum miring.

Nara merotasikan bola matanya merasa nyalinya direndahkan.

“Oke, kalo nilai gue lebih bagus, lo harus potong rambut,” ujar Gunalin tiba-tiba menyuarakan konsekuensi dari taruhan, “kalo nilai lo lebih bagus, terserah lo mau minta apa dari gue,” lanjutnya.

Nara juga ikut tersenyum miring, “Siapa takut.”

Guanlin menjulurkan tangan kananya di hadapan Nara, sebuah bentuk ia meminta kesepakatan. Nara menatap sejenak, lalu ia menjabat tangan pemuda di hadapannya yang jauh lebih besar dari tangannya. Mata keduanya saling bertatapan, mengirimkan sinyal perang.

Nara hendak melepaskan jabatan tangannya, namun genggaman Guanlin sangat kuat hingga ia harus menarik tangannya beberapa kali. Tapi tetap saja pemuda itu tidak melepaskannya, yang ada ia malah maju selangkah, merepatkan tubuhnya pada Nara. Kemudian sedikit menunduk, berbisik tepat di samping telinga kanan Nara.

“Gue gak sabar liat rambut pendek lo,” bisik pemuda itu, kemudia melepaskan jabatan tangan keduanya, lalu berbalik melenggang memasuki kelasnya.

Sementara Nara masih diam di tempatnya, mengerjapkan matanya berkali-kali. Ck, dia tidak akan membiarkan rambut panjangnya harus dipotong hanya karena taruhan konyolnya.

“YANG ADA GUE ABISIN DUIT LO BEGO,” teriak Nara, membuat Guanlin yang baru saja memasuki kelasnya tertawa riang, tak berniat memblas.

Lihat saja, dia juga sungguh-sungguh dengan ucapannya.

-To Be Continued-

Hai aku balik lagi huhu belakangan ini jadi up seminggu sekali, tapi makasih banget buat semua yang masih setia baca dan vote ceritaku❤❤❤

Seperti biasa aku tunggu vote dan komen kalian ya❤

Tinggi - GuanlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang