purnama satu

2.9K 205 44
                                    

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Musim dingin pada seperdua Desember.

Satu bintang terhempas dari penghujung selatan.

Ara sangka, hatinya telah mutlak jatuh pada kanvas kucam pemberian Ayah kala usianya menjejak angka 13. Kanvas yang membikin debar dada berdentum sengit tatkala jemari anggunnya menjemput kuas, menggurat rona serta imaji yang melangit di awang, lantas merasai dadanya penaka gegap gempita saban memindai swakarya yang kuasa membikin dua sudut bibirnya terpukau.

Melukis adalah cinta pertamanya, dan tanpa melukis Ara lengkara mendesir napas.

Namun, segala impresi tersebut lelap tatkala musim dingin berlabuh pada seperdua Desember. Di mana sang gulita memagut mesra kemuraman langit Kota Bergen berselimut salju pertama, beriring degup pelik yang menutuk tanpa perkenan.

Ara nyalar berasmara dengan rampaian lukis saban gulita merajai dirgantara, berteduh di balkon apartemen bersama secangkir teh camomile, pula kanvas kucam selaku sejawat kesehariannya di negeri orang. Tak ada kausa spesifik apa sebab ia lebih memilih menandaskan malam dengan melukis, yang Ara mafhumi hanyalah ia ingin mengawani langit gulita yang senantiasa singular menyaksi purnacandra merangkai dialog bersama gemintang.

Ah, dirgantara memang senantiasa tertentang rupawan. Akan tetapi, gelar rupawan tersebut nyatanya tertentang sedemikian patetis.

Menganjur napas selepas puas memindai dirgantara yang dipoles rinai salju, Ara kemudian memetik kuas, nyaris membenamkan sabut halus pada cat air sebelum dinamika jemari gadis itu serta-merta stagnasi. Diam. Daksanya menyerana. Sepasang labiumnya mengatup rapat. Selarap netra kadrunya melebur sempurna pada sosok pemuda yang berjejak tepat di seberang apartemen.

Ara jarang sekali mencipta kontak wicara dengan tetangga—bahkan tak suah sekali pun—tetapi ia yakin setelah empat warsa bermukim di tempat ini, Ara hafal betul rupa para penghuni bangunan apartemennya terutama apartemen di seberang petak. Pemuda itu asing, barangkali dia penghuni anyar. Namun, ada seperkara yang membikin pandangan Ara tak bisa dialih barang sedetik dari sosok pemuda bertudung hitam tersebut.

Campakkan realitas bilamana mereka senyatanya berakar dari benua yang seiras. Ara tak menghirau sama sekali. Sebab, apa yang menjadi atensinya saat ini yakni selarap netra temaram sang pemuda yang tengah memandang getir layar ponsel.

Begitu sendu dan ... memedihkan.

Diam. Tak ada dinamika absolut dari pemuda itu selain kelun tembakau yang mendulang lirih melalui tangkai sigaret yang diselitkan pada jemari pualamnya.

Ara tak memafhum, ia sungguh tak memafhum apa sebab jantungnya berdampung pelik hanya karena memandang pemuda itu bergerlip; merasa berjuta rama-rama mengudara pada pangkal perut tatkala bibir tipis dengan rona merah muda itu menyesap kuat sigaret di tangannya, menghembus kelun hingga membubung luhur, lantas melebur beriring rinai salju.

Afeksi ini serupa penaka masa dirinya mulai jatuh cinta dengan melukis, tetapi sensasinya terpaut sedemikian jauh.

Ini lebih mendebarkan, dan ini jauh lebih ... memabukkan.

Sepersekian detik terbenam di bawah belenggu malam bersama pukau cendayam di seberang petak, Ara sontak tersadar tatkala dawai bilah-bilah piano menyambangi ponselnya; menyuratkan pariwara pesan dari salah satu klien, membikin gadis itu serta-merta meraih ponselnya yang terbaring bersanding dengan cangkir teh.

Namun, di detik yang bertaut—tepat ketika Ara nyaris memaling pandangan—di sana, di bawah remang-remang pijar bohlam apartemen yang saling bercengkerama bersama kelam milik gulita, Ara kuasa menampak nyata betapa selarap netra temaram sang pemuda kini memandanginya. Roman lesi yang serupa salju itu tampak berbinar bak pendar purnacandra, sebelum kelun dari sigaret yang disesap kembali membubung demi memayungi paras adiwarnanya.

Andai, andaikata malam itu Ara tak meneduhkan diri di balkon lantaran hawa musim dingin—lebih-lebih salju pertama—terasa sedemikian beku, barangkali Ara tak akan pernah memafhum bahwasanya malam itu, di bawah gulita menyilukan, ada sosok rapuh yang nyatanya jauh lebih patetis dibanding dirgantara.

Sosok yang kuasa membikin Ara sukar memagut lelap selepas pertembungan pandang mereka.

ketika bintang jatuh dan dia terluka.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang