Part 5: Rasa yang Menyelinap

248 55 2
                                    


"Kau tahu perbedaan aku dan kamu? Kau yang suka melukai dan aku yang suka memaklumi."

🍁 🍁 🍁

Arkan berjalan dengan tergesa menuju ruangan di mana Zara berada. Beberapa menit yang lalu Prof Andi menghubunginya untuk mendokumentasikan wawancara yang sedang berlangsung antara Zara dan Rey Hirano.

Tangannya terulur membuka knop pintu. Karena tergesa-gesa, ia mendorong masuk pintu di hadapannya dengan cukup kencang. Ia terkejut melihat Zara tersungkur dengan bercak darah di depannya. Ia hendak bergegas membantu Zara, namun langkahnya terhenti kala seorang perempuan berbaju merah ketat menarik paksa Zara berdiri.

Perempuan itu membentak Zara keras seraya mendorong kasar kepala Zara.
Hatinya seakan terluka melihat gadis mungil itu diperlakukan dengan semena-mena.
Tangannya terangkat hendak menampar Zara. Dengan sigap, Arkan menempatkan diri di hadapan Zara. Ia bermaksud menjadikan punggung kokohnya sebagai tameng untuk melindungi Zara.

Tamparan keras di punggungnya tak sebanding dengan rasa khawatirnya pada Zara. Sepersekian detik, mata Zara terkatup rapat ketakutan. Beberapa detik kemudian kelopak mata itu terbuka, menyibak mata hitam nan jernih bak biji kelengkeng yang bertatapan langsung dengan manik mata cokelat Arkan. Sudut bibir Arkan terangkat menerbitkan senyuman indahnya, berharap senyum itu mampu menyalurkan rasa tenang pada Zara. Senyuman yang sukses meluluhkan hati populasi wanita di kampus Diwangkara.

Sementara Keyra, ia menghentakkan kakinya kesal. Sok dramatis. Pikirnya.

"Keyra, segera berkemas! Kita akan segera pergi sekarang," ujar Rey dengan tegas.

Seakan robot, Keyra segera melakukan perintah Rey dengan senang hati.

Zara melotot, Rey berniat membatalkan wawancara? Tidak, ia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Zara segera menghadang langkah Rey yang sudah bergegas di ambang pintu. "Pak, mari kita mulai wawancaranya, bapak sudah berjanji sama Prof Andi."

Rey mendengus seakan meremehkan ucapan gadis bercadar di hadapannya itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rey mendengus seakan meremehkan ucapan gadis bercadar di hadapannya itu. "Kamu masih punya nyali untuk meminta wawancara setelah kelancangan kamu barusan?" Rey tertawa sinis di akhir kalimatnya dengan tatapan sinis yang tak luput barang sekejap dari matanya.

"Ayo kita pergi," ujar Rey seraya menarik lembut tangan si perempuan bergaun merah.

"Pak, tapi jangan begini. Saya janji ini akan jadi rahasia kita, tapi jangan membatalkan wawancara ini saya mohon." Zara menekan rasa pening di kepalanya sekuat mungkin. Ia nekad menghalangi jalan Rey.

"Pun jika kamu bicara, lamu pikir siapa yang akan percaya?-" sarkan Rey dengan nada menggantung. "Gadis ingusan," ;anjutnya lalu mendorong pelan Zara hingga ia menyingkir.

"Pak, please." Dengan berani ia kembali menghalangi Rey.

"Minggir," desis Rey namun Zara tetap bergeming. "Palingan kamu hanya akan membuang waktu saya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol saja."

Emosi Zara rasanya memuncuak. Demi apapun dirinya sudah menghabiskan waktu lama untuk mmebacar buku menyebalkan seputar bisnis demi  memahami dunia bisnis Rey. Dan, pertanyaan konyol katanya? 

Saking emosinya, Zara tanpa sadar sudah melotot marah, mengarahlkan mata hittam nya tepat ke kedua mata Rey. Rey bagaimana? Oh tentu matanya tidak kalah tajam menatap. Bahkan tatapan itu sering ia gunakan saat berhadapan dengan pesaingnya. 

"Lebih baik tidak berjanji daripada berusaha mencari-cari alasan atas janji yang tidak dipenuhi!" ucapnya berani. "Ekspektasi saya terlalu tinggi ternyata pada anda. Anda tidak l;ebih dari mafia publik yang hanya bertopeng malaikat tapi berhati iblis."

Arkan yang mneyaksikan perdebatan sengitu itu lantas maju. Jika melihat keadaan Zara yang sudah begini, ARkan yakin akan semakin banyak kalimat pedas yang akan gadois itu lontarkan. Ia hafal betul. 

"Pak, saya mohon tenang dulu. Zara tidak bermaksud kurang ajar untuk asal masuk ruangan bapak. Zara masuk karena Prof Andi yang menyuruhnya tadi. Zara itu orang kepercayaan beliau," jelas Arkan dengan penuh penekanan untuk membela Zara. Ia tahu Zara akan berusaha mati-matian menjaga wawancara agar tetap berlangsung, seperti amanah Prof Andi. Bukan karena ingin mencari perhatian siapapun, hanya saja Zara merupakan tipikal yang sangat menjaga sebuah kepercayaan. Baginya kepercayaan seseorang padanya adalah investasi terbesar yang harus dijaga dan tidak boleh dirusak sedikitpun karena akan sulit mengembalikan keutuhan rasa itu jika sudah tergores sedikit saja.

"Saya tidak peduli. Keputusan saya sudah bulat. Lain kali ajari anak ceroboh ini tata krama. Muslimah kok nggak beradab. Jilbab dan cadar yang kamu pakai ini sama sekali nggak pantes buat orang seperti kamu," hina Rey dengan nada super dingin bin sinis.

Kaki Zara bergetar hebat, ucapan Rey begitu menyakitkan. Zara tahu ia salah, tapi Arkan sudah menjelaskan semuanya bukan? Tapi kenapa Rey keras kepala sekali untuk membatalkan wawancara ini dan malah menghina dirinya? Apa jadinya nanti jika Prof Andi tahu bahwa wawancaranya batal?

Arkan tidak sanggup lagi menahan amarahnya. Ia maju dan menarik kerah Rey hingga ia terlonjak kaget, Arkan tidak peduli dengan siapa ia berhadapan saat ini. Segala citra baik Rey yang Arkan agungkan selama ini tercoret seketika. "Lo kasar banget sama cewek! Nggak usah bawa-bawa hijab kalo emang lo nggak suka!" tangannya terkepal berniat meninju Rey.

Pukulan Rey terhenti kala ia merasakan badan Zara ambruk mengenai bahunya. Kelopak matanya terpejam. Cadar yang ia pakai sudah berlumuran darah.

Arkan melepaskan cengkramannya pada kerah Rey dan menopang tubuh Zara yang kini terkulai lemas. Arkan membuka cadar Zara agar nafasnya bisa lebih leluasa. Ia terkejut dengan hidung Zara yang mengeluarkan banyak darah.

Rey membeku melihat gadis di hadapannya yang ternyata adalah gadis ceroboh tadi pagi. Rey tersenyum miring melihat keadaan Zara. Rey tak perlu mengotori tangannya untuk membalas gadis itu, ia sudah terkulai dengan sendirinya tanpa Rey turun tangan.

"Taste your shit!" maki Keyra. "Lets go, Rey."

Dengan langkah ringan, Rey dan Keyra berjalan keluar dari tempat Zara dan Arkan. Setidaknya Rey patut berterima kasih pada insiden ini, karena sekarang ia punya alasan yang pas untuk meninggalkan wawancara tersebut dan melanjutkan qualty time mereka. Senyuman manis Keyra merekahkan senyum Rey, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatinya sana muncul keresahan, mungkin lebih mirip rasa khawatir. Ia menepis jauh-jauh rasa itu, karena jauh didalam sana hatinya rasa khawatir itu jatuh pada gadis bermata cokelat yang sudah menyapanya dengan kesialan yang beruntut. Zara.


Bride from NowhereWhere stories live. Discover now