Part 1: Plester Bintang-Bintang

79.5K 3.3K 52
                                    

Sunday / 9 pm / March 2001.

Cowok itu mengoleskan semacam antibiotik ke lututku yang tergores, lalu meniup-niupnya, aku kegelian di bagian belakang lututku.

"Sakit?" ia bertanya, matanya disipitkan, kelihatannya ia tengah berusaha untuk melihat dengan jelas.

Aku menggeleng "kau pakai kacamata ya?"

Dia tertawa pelan "iya, tapi pecah kena injak gajah, abangku, mama belum punya duit buat beli yang baru, jadi yah, owe tidak bisa liat ha, pusing pala owe" aku tergelak mendengar leluconnya, ia ikut-ikutan tertawa.

Tawa kami berderai, disekitaran apotik tak ada orang, jadi kami menguasai teras apotik untuk diri kami sendiri, duduk menjelepak tanpa alas di lantai keramik yang dingin dan banyak yang retak, tapi siapa peduli.

"Oh, aku Ed, Edgar, biasanya sih baik hati, apalagi kalau di traktir indomie" ia menjulurkan tangannya, aku masih tertawa, tanpa pikir panjang akupun menyebutkan nama "Elle, biasanya sih cantik tapi selalu menolak ikutan kontes hewan peliharaan" lagi-lagi mereka tertawa, perkenalan yang lain daripada yang lain.

Edgar manis, dan pastinya baik hati, ia mau saja menolong gadis yang baru ditemuinya, tanpa pikir panjang dan tanpa banyak tanya, kenapa si gadis sampai terluka.

Ia lalu mengeluarkan sebuah plester dari saku jaket army-nya, plester dengan gambar bintang-bintang berwarna biru, lalu dengan lembut ditempelkannya ke lukaku. Sedikit perih,  tapi ketika Ed melihat ke mataku, rasa perih itu beralih ke jantungku yang berdetak dua kali lipat, mata itu tersenyum, dan berkata "kau akan baik-baik saja", aku hanya terdiam membalas tatapan matanya, dan,

Aku rasa aku jatuh cinta.

***************************************************

"Kenapa Elle? kenapa lututmu?"

Mama memang seperti itu, selalu khawatir kepadanya, padahal lukanya tak seberapa.

"Makanya, minta pak Minto buat nganterin kamu, eh, ini malah nekat bawa sepeda sendiri, mana udah malam lagi" wanita cantik itu lalu memeriksa luka dilututnya yang di tutupi plester bintang-bintang.

"Ga apa-apa kok ma, lagian rumah Echa kan di blok sebelah, kasian pak Minto dibangunin malam-malam" ia tersenyum mengisyaratkan ia baik-baik saja, mamanya hanya mendesah pasrah.

"Kamu memang anak baik, Elle"

Pintu depan terbuka, seorang gadis masuk, jaket denimnya kotor, celana jeans-nya yang sobek-sobek makin terlihat tak berbentuk karena banyak kotoran yang menempel, kupluk abu-abunya menutupi semua rambutnya.

"Kamu berantem lagi? pulang malam, berkeliaran dengan berandalan, berkelahi!, sampai kapan kamu seperti itu Ed? ha? jawab mama!" suara mamanya yang tadi selembut sutra berubah tajam bak pisau bermata dua. Wanita itu memandang lurus ke arah si gadis yang mukanya biru-biru dan sudut bibirnya berdarah.

"Aku ke kamar dulu" gadis itu menjawab lirih, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini sejak ia masih kecil. Dengan langkah pelan ia naik ke lantai dua menuju kamarnya, tak dipedulikannya sorotan tajam mata perempuan itu yang seolah sedang menembus batok kepalanya.

Biasanya ia langsung tertidur dan langsung bertemu si mimpi yang tak pernah mau bersahabat dengannya, tapi tidak kali ini, ia berbaring telentang di kasur yang beralas hitam bergambar tengkorak. ia memandang langit-langit, sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya, tak dipedulikan wajah dan tubuhnya yang perih akibat luka-luka, benar ia tak peduli, karena inilah malam terbaik seumur hidupnya, karena pada akhirnya.

Double E -Seri 4-Onde histórias criam vida. Descubra agora