7

145 19 8
                                    


Beberapa hari ini aku lebih suka menghabiskan waktu istirahat di kelas. Aku sudah mulai bosan menghampiri Maura yang semakin sibuk dengan teman-teman barunya.

Bukan aku cemburu atau merasa tersisihkan. Terakhir kali aku bergabung dengannya, aku memaksakan diri untuk tetap menjadi pendengar yang baik. Dan Maura tak menutup mata melihat ketidakmengertianku. Sebagai ganti, sepulang sekolah dia selalu menolak pulang naik angkot bersama teman-temannya dan memilih pulang denganku sambil berkeluh kesah, menceritakan ulang beberapa berita yang tengah menjadi perbincangan hangat di sekolah. Menunjukkan bahwa dia masih menganggapku sebagai temannya. Setidaknya itu sudah cukup bagiku.

Istirahat kedua biasanya aku memilih menghabiskan waktu di kelas. Membaca ulang novel yang kubawa dari rumah atau sekedar mencorat-coret buku khusus yang sengaja kubuat untuk menghilangkan penat. Atau yang belakangan semakin sering kulakukan, diam-diam menangis setelah saling berbalas makian dengan Reksa.

Ya. Reksa masih sering mengusikku. Semakin sering malah. Entah dendam apa yang dia miliki hingga senang sekali membuatku naik darah.

"Woy, Cha. Ada salam dari Deni nih!
Pacaran yuk, katanya! Hahahaha!"

Seperti kali ini. Saat kelas sudah mulai sepi karena ditinggal penghuninya ke kantin. Hanya tersisa duo Sarah-Fina yang sedang merapikan meja mereka sebelum menuju kantin. Juga kumpulan anak laki-laki di pojok kanan kelas. Termasuk Deni, teman sekelas yang belakangan ini sering dijodoh-jodohkan oleh Reksa padaku.

Merasa terusik, aku menoleh. Mataku menatap sinis pada Reksa yang terbahak sambil memukuli meja. Terlihat sangat bahagia telah berhasil menggangguku. Sementara yang lain hanya cengengesan atau sekedar tersenyum.

"Alah, gaya lu sok bawa-bawa si Denny. Jangan-jangan elu lagi, Sa, yang suka si Marsya."

Bisa aku lihat bagaimana perubahan wajah Reksa yang seketika kesal mendengar ucapan Sarah. Ditambah lagi sekarang dia juga jadi bulan-bulanan temannya. Seperti senjata makan tuan, mungkin. Tapi itu hanya sesaat, sebelum dia kembali berteriak menyumpahiku.

"Dih, tai amat! Najis gue sama cewek jelek! Sok cantik! Belagu!"

Tuh, benar kan?

Aku tahu Sarah bermaksud untuk membuat cowok tengil itu berhenti mengolokku. Namun sayangnya cewek tomboi itu tanpa sadar malah membuat keadaan semakin panas.

"Dih, Marsya cute kali. Mungil---"

"Hah! Mungil apaan!? Pendek mah pendek aja! Nggak usah sok dibilang mungil! Geli banget gue dengernya!"

"Terus kenapa kalo gue pendek, sok cantik!? Urusan sama lu apa!?" balasku tak terima.

Aku paling tak suka ada yang menghina fisik. Tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh sentimeter aku anggap sudah cukup karena ibuku juga tak begitu tinggi. Wajahku juga tak bersih mulus karena butiran jerawat menghiasi di beberapa tempat, mungkin efek dari pubertas. Dan badanku yang terlihat gemuk karena seragam yang kebesaran padahal timbanganku tak pernah lewat dari empat puluh delapan kilo. Tapi aku tetap bersyukur dengan apa yang kumiliki. Aku bersyukur atas keutuhan organ tubuhku. Masih diberi umur panjang. Diberi keluarga dan rezeki yang cukup. Aku bersyukur dengan hidupku.

"Eh, Anjing! Nggak usah sok cantik lu! Ngaca dong! Tuh muka udah kayak tembok belum diplester! Ancur! Nggak rata!"

"Muka, muka gue. Urusan sama lu apa, Njing!?"

"Dih, si Bangke! Berani amat lu sama gue! Sini lu!"

"Kenapa gue harus takut sama lu, Ke?!"

"Si Bangsat!"

"Apa lu, Sat!?"

Kalau kalian pikir aku mencak-mencak dengan gaya berdiri dan menunjuk-nunjuk, maka kalian salah. Yang seperti itu adalah gayanya Reksa. Ditambah dengan tendangan di meja atau bangku, sebagai bahan gertakan. Gayaku hanya duduk di tempat, mengangkat dagu sedikit lebih tinggi dan melemparkan senyum sinis dengan alis terangkat sebelah. Ya hanya itu. Muka songong, kalau kata Reksa.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang