Elegy - Wangxian

8.4K 465 52
                                    

Ceruk Awan diselimuti putih. Salju menumpuk hampir di semua sudut usai disapa badai semalam suntuk. Musim dingin menyentuh pertengahan dan hawa dingin yang mematuk kulit dianggap biasa.

Di Jingshi, dingin lebih ganas lagi, berbaur dengan sunyi yang mengerak memenuhi atmosfir. Sosok seelok giok duduk di balik meja, menatap guqin bersenar tujuh yang lama tak bersuara.

Kapan terakhir kali ia memetik senar-senar di sana? Mungkin bertahun-tahun yang lalu saat rindu mencekik napasnya kuat-kuat, saat sesal mencabik-cabik batinnya, atau saat pengandaian membolak-balik pikirannya.

Saat merah tak lagi berkelebat dalam pandangannya. Saat hitam berakhir pahit dalam rengkuhannya.

Ah, berapa banyak waktu yang berlalu? Ketika Ia melempar tatap pada jendela, pohon-pohon yang meranggas telah tumbuh lebih tinggi dari yang diingatnya. Salju di tanah menumpuk tinggi, padahal seingatnya hanya ada kobaran api. Api di bukit Luanzang, api yang membara sesak di dadanya.

Bagaimana kabar merah yang berkelebat itu kini? Akankah kali ini sudi menjawabnya? Akankah kali ini sudi mendatanginya, mendengar getar suara penyesalannya, menerima sesak keputusasaannya?

Jemarinya menari, memetik senar yang menjeritkan hatinya. Guqin yang lama terbengkalai bersenandung sekali lagi.

"Wei Ying."

"Wei Ying."

"Wei Ying."

Inquiry memecah kerak-kerak sunyi. Jingshi menggemakan nada, tetapi dingin tetap mencekik karena jawab tak kunjung diterima.

-end

Drabble Mo Dao Zu ShiWhere stories live. Discover now