20. Hyacinth

977 165 48
                                    

Note:
Kalah jadi abu menang jadi arang.

Kei membuka matanya perlahan. Berat. Lelah. Seakan kelopak matanya kini terbuat dari bongkah batu.

Pun ketika matanya terbuka lebar, warna putih plafon sama sekali tidak membuatnya nyaman. Alih-alih begitu tenggorokannya terasa kering sekali dan seluruh sendinya ngilu luar biasa.

"Halo Putri Tidur. Nyenyak tidurnya?"

Kei mengerjap dan menoleh susah payah.

"Ma-ma?" Tanyanya dengan suara serak bergaung seperti dari kejauhan. Jari-jarinya ingin bergerak, berontak hendak terangkat. Namun tubuhnya membandel tak menurut. Sehingga air matanya yang mengambil alih, berebut turun berderai-derai. Seakan menunjukkan betapa rindunya Kei pada sosok cantik itu.

Sosok yang acap kali dilupakannya dengan sengaja agar kerinduan tidak membunuhnya perlahan. Berpura-pura kuat sepanjang umurnya sampai dia terlupa sedang berpura-pura.

"Kamu udah aman sayang, semuanya akan baik-baik aja sekarang."

Kei mengangguk meski sulit. Merasakan jemarinya kini bertaut dengan sosok terkasih itu.

"Maaf selama ini kami nyembunyiin semuanya dari kamu. Tapi ini semua demi keamanan kamu sayang."

Maaf?
Kenapa Mama harus minta maaf?
Karena sudah meninggalkan Kei dari kecil?

Ingin sekali Kei memeluk sosok itu. Mengatakan tak apa, Kei mampu dan kuat, Kei jarang menangis dan tak pernah membantah. Asalkan Mama tidak pergi lagi. Asalkan Papa juga ada. Asalkan Kakek--

Mendadak Kei mengernyit kesakitan. Kepalanya seperti diperas. Sakit sekali sampai-sampai Kei tak tahan untuk berteriak.

"DOKTER! SUSTER! TOLOOONG!"

Kei memegangi kepalanya. Sakit. Sosok itu ikut berteriak panik. Namun lantas mengabur dengan cepat. Kei terbelah antara mencengkram kepalanya atau meraup sosok itu atau melakukan keduanya sekaligus.

"Kei... Keisha... Kekei."

Sepasang lengan kokoh tiba-tiba menangkapnya. Memeluk erat dan membuat Kei diam tanpa sempat berontak.

Hangat napas di antara lekuk lehernya, kekar lengan yang merangkum tubuhnya, serta wangi tubuh familier membuat kesadaran Kei pulih perlahan. Matanya tak hendak mengedip sampai terasa pedih.

Sosok yang dikiranya mendiang Mama ternyata Bu Hilda. Kini terlihat nyata dan jelas. Berdiri di sisi ranjangnya dengan wajah pias khawatir. Pak Risjad Sanusi berdiri di sisi lain dengan wajah sama kacaunya.

Apakah dia baru saja berhalusinasi?

"Kekei.."

Panggilan itu, panggilan khas yang hanya milik Veedyatama mengalihkan seluruh kewarasan Kei kembali ke dunia nyata. Lelaki asuhannya. Si bandel yang hobi menggeratak seisi ruangan. Si cerewet yang pilih-pilih makanan. Si tampan nan cerdas yang mengalami trauma berat hingga jiwa dewasanya tertukar dengan bocah rawan tantrum.

"Vee... Veedyatama... Veedyatama Regan." Kei menggumam, memanggil pelan, balas memeluk.

"Kamu baik-baik aja, kita baik-baik aja." Vee masih memeluknya. Tubuhnya gemetar. Atau justru tubuh Kei-lah yang menggigil. Gadis itu tak yakin, dia hanya merasakan betapa Vee begitu dekat, begitu tentram. Pelukannya hampir terasa seperti dekapan malaikat pelindung.

"Maaf udah bikin kamu bingung." Perlahan Vee membuat sedikit jarak meski tak benar-benar melepas pelukannya. "Maaf juga udah bikin kamu kayak gini."

Bumblevee (KTH)Where stories live. Discover now