4

10.3K 1.5K 72
                                    

Bertemu dengan mantan tak pernah ada dalam pikiran Kayla. Namun, untuk dalam hal bekerja dia harus profesional. Tak boleh terbawa perasaan. Raffa hanya masa lalunya. Masa lalu yang dengan susah payah dia coba lupakan.

Mata Kayla tak lepas dari Jena yang sedang melihat-lihat baju. Sedangkan Raffa, berdiri di dekat jendela sambil memainkan ponsel. Kayla tahu, mereka berdua tak menyadari kehadirannya. Dan Kayla tak akan sembunyi atau sengaja menampakan diri di hadapan mereka. Dia akan diam di tempat. Sebab, nanti Jena pun akan datang padanya untuk membayar baju.

"Kay, Raffa ada di sini!" pekik Davina panik. Dia menatap Raffa yang berdiri dekat jendela dan Kayla secara bergantian. Ada rasa takut dan khawatir di matanya. Takut Kayla kembali bersedih karena melihat Raffa.

"Tak masalah. Dia adalah pelangganku," jawab Kayla datar. Davina terkejut mendengarnya. Dia menatap Kayla dengan lekat. Dan sorot mata Kayla begitu tajam juga dingin.

"Mungkin, dia sedang mengantar calon istrinya. Atau mungkin, istri barunya," lanjut Kayla dengan senyum tipis yang terlihat tak ikhlas.

Davina pun diam mendengar itu. Dia menutup mulutnya rapat-rapat dan setia berdiri di samping Kayla. Berjaga-jaga saja jika Kayla pingsan atau tiba-tiba menangis. Namun, Davina harap itu tak terjadi.

Beberapa menit terlewati dan Raffa masih diam berdiri di sana. Davina pun jadi ikut memperhatikan Raffa yang tak menyadari kehadiran Kayla. Tiba-tiba, Davina lihat Raffa di dekati oleh seorang wanita. Bisa Davina tebak, wanita itu meminta bantuan pada Raffa untuk memilih baju. Sebab, wanita itu membawa dua baju di tangannya.

"Kay, itu istri baru Raffa?" tanya Davina dengan suara pelan. Kayla melirik sekilas dan mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

"Entah. Bukan urusanku juga," jawab Kayla cuek. Dia memang terlihat santai dan tenang. Nyatanya, hatinya tak bisa tenang. Rasa sakit dan sesak itu masih memenuhi relung hatinya.

"Mereka berjalan ke sini," bisik Davina pelan. Kayla melirik pada Raffa dan Jena yang memang sedang berjalan ke arah dia dan Davina. Pasti, untuk membayar baju.

"Permisi. Aku mau baju yang ini," ucap Jena. Dia menyerahkan baju yang dia pilih lalu mengambil dompetnya dari dalam tas. Saat hendak membayar, dia baru menyadari kalau yang melayaninya adalah Kayla.

"Kayla? Kamu kerja di butik ini juga?" tanya Jena spontan. Dia langsung melirik Raffa yang terlihat kaku dan canggung di belakangnya. Namun, sorot mata Raffa tak bisa menyembunyikan perasaannya sendiri. Ada rindu dan sesal di sana.

"Aku pemilik butik ini," jawab Kayla dengan senyum simpul. Dia memasukkan baju Jena ke dalam paperbag. Lalu menyerahkannya pada Jena.

"Wow. Kamu hebat sekali bisa jadi seorang designer. Apalagi, baju rancanganmu bagus-bagus," ucap Jena. Ada rasa kagum yang terlihat dari sorot matanya. Dan jelas, itu membuat Kayla keheranan. Namun, dia menutupi ekspresi herannya dengan senyuman tipis.

"Terima kasih," ucapnya. Jena mengangguk dengan semangat. Dia berbalik dan langsung menghadap Raffa yang setia memandangi Kayla. Tanpa berani menyapa.

"Raf, mau pulang sekarang? Atau mau di sini dulu?" tanya Jena. Raffa mengerjapkan mata dan menatap Jena yang sedang menunggu jawaban darinya.

"Kita pulang sekarang," jawab Raffa. Dia kembali memandangi Kayla. Dengan berani, dia berjalan mendekat pada Kayla. Davina yang melihat itu malah jadi deg-degan. Padahal, Kayla lah yang harusnya panik. Bukan dirinya.

"Kayla, selamat atas kesuksesanmu. Semoga usahamu selalu lancar," ucap Raffa. Kayla menatap Raffa sesaat dan mengangguk.

"Terima kasih," balasnya singkat tanpa senyuman dan langsung memalingkan wajah. Raffa menghembuskan nafas pelan melihatnya. Dia sadar kalau Kayla tidak nyaman dengan kehadirannya. Pasti, Kayla akan lebih senang jika tak melihatnya.

"Sampai jumpa. Semoga kita bisa bertemu lagi," ucap Raffa lirih yang masih bisa di dengar oleh Kayla. Raffa pun berbalik dan berjalan mendekati pintu. Jena mengekor di belakang. Dan kini, dia tak bergelayut manja di lengan Raffa lagi.

"Kamu baik-baik aja kan, Kay?" tanya Davina khawatir. Kayla diam sambil menatap meja di depannya dengan tatapan kosong. Dia tak bisa berbohong kalau sekarang dia sedang tidak baik-baik saja. Rasa cinta yang belum sepenuhnya hilang membuat dia merasa sakit kala melihat Raffa bersama perempuan lain. Dan Kayla merutuki perasaannya itu yang membuatnya jadi bodoh.

"Kamu butuh istirahat, Kay," ucap Davina lagi. Kayla menggeleng. Dia pun kembali melayani pelanggan yang akan membayar. Dia memberikan senyuman yang ramah. Berbeda dengan senyuman tidak ikhlas yang dia berikan pada Jena tadi.

Davina menghembuskan nafas pelan melihatnya. Tanpa harus bertanya pun dia tahu Kayla terpukul mengetahui fakta Raffa sudah bersama orang lain. Walaupun belum tentu wanita itu adalah istri Raffa, tetap saja itu menyakitkan.

"Kay, nama pacarmu siapa?" tanya Davina setelah Kayla selesai melayani pelanggan yang membayar baju.

"Adam," jawab Kayla singkat.

"Adam. Kamu harus sering mengajaknya datang ke sini. Perasaanku, Raffa akan sering datang ke sini hanya untuk sekedar melihatmu," ucap Davina. Kayla diam sesaat dan mengangguk pelan. Davina pun memilih pergi dan berbaur dengan para pelanggan. Membiarkan Kayla menenangkan diri dan menjernihkan pikiran.

***

Pukul lima sore, butik baru tutup. Kayla pun mengunci butik dan bersiap pulang. Dua pegawainya sudah pulang duluan tadi. Dia terakhir karena harus menyelesaikan sketsa untuk rancangan terbarunya.

Kayla pun sudah memberitahu kedua pegawainya agar bantu mencari tiga orang lagi untuk bekerja. Mereka menyanggupi. Karena mereka bilang, ada teman mereka yang sedang membutuhkan pekerjaan. Kayla pun senang mendengarnya. Dengan itu, dia tak perlu repot-repot mencari pegawai baru.

Tadi, Kayla juga sudah menghubungi Adam. Meminta Adam menjemputnya dan mengantarkannya pulang. Namun, Adam tak bisa mengantarnya pulang. Sebab, ada urusan penting. Katanya sih, salah satu pamannya yang tinggal di luar kota masuk rumah sakit karena kecelakaan. Jadi, Adam harus datang menjenguk. Kayla juga sudah bilang kalau dia ingin ikut menjenguk. Namun, Adam melarang. Alasannya, Adam tak mau Kayla yang sudah bekerja di butik harus berangkat dengan perjalanan jauh yang akan membuatnya kelelahan.

Walaupun sedikit kecewa, Kayla juga merasa senang mendengar itu. Dia senang Adam mengkhawatirkan kesehatannya. Dia senang Adam perhatian terhadapnya.

Kayla berjalan mendekati trotoar dan mencari taksi yang lewat. Belum juga menemukan taksi, ada orang yang menepuk bahunya pelan dari belakang. Kayla pun menengok ke belakang dan ternyata itu adalah Jena.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kayla formal. Bersikap seperti penjual pada pembeli. Mungkin saja, Jena ingin memberi saran tentang butiknya.

"Kay, besok kamu ada waktu luang gak? Aku mau bicara berdua denganmu," ucap Jena serius. Dilihat dari sorot matanya, Jena tak main-main.

"Jika mau, malam ini pun saya bisa," balas Kayla masih dengan bahasa formal.

"Oke deh. Kita bisa sekalian makan malam kan? By the way, jangan formal begitu. Aku gak nyaman mendengarnya," ucap Jena. Kayla hanya mengangguk singkat. Dia pun menyetop sebuah taksi yang lewat.

Kayla mengikuti Jena masuk ke dalam taksi. Dia mencoba berpikir positif menanggapi ajakan Jena sekarang. Bisa saja kan, Jena ingin merundingkan sesuatu tentang butiknya?

Kayla menatap lurus ke depan. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Dadanya kembali sesak melihat sebuah cincin emas putih berhiaskan permata melingkar di jari manis Jena.

Benarkah Jena sudah menikah dengan Raffa? Atau, mereka masih tunangan? Atau, bagaimana?

Yang jelas, hati Kayla belum sepenuhnya lepas dari Raffa. Dan melihat cincin itu membuat dadanya tambah sesak.

_______________________________________

Hai Hai...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...

Second ChanceWhere stories live. Discover now