Dua

15 1 0
                                    

Sabtu, 03 September 2018

“Lepaskan wanita itu sekarang...!”

“Berapa persen keberanianmu sampai berani memerintahkanku demikian, Bryan?” tanya seorang pria bertubuh gempal, kulit hitam, dan rambut tak terurus.

“Seratus sepuluh persen dan sekarang lepaskan wanita itu,” sahut Bryan dengan senyuman sinis sembari memukulkan balok kayu ke tangannya dengan ringan.

“Dia adalah tahananku karena berani membantah saat aku meminta kode untuk kotak rahasia perhiasannya,” ujar pria gempal itu menampar wanita bertubuh mungil yang terikat kencang di atas kursi. “Marilah kita bersenang-senang dengan wanita ini dan aku akan memberikan lima belas persen dari harta di dalam kotak itu nanti,” sambung si gempal dengan senyum yang menjijikkan.

Teriakan minta tolong cukup menyakitkan telinga tiga pria berkulit hitam dengan gambar permanen di setiap sisi kulitnya, sumpalan dengan kain basah menghentikan teriakan dari wanita cantik dengan rambut cokelat tersebut. “Aku bilang lepaskan wanita itu sekarang,” kata Bryan terus menahan dua temannya yang lepas kendali amarah.

“Tidak akan pernah,” tegas pria gempal itu memberikan kode pada dua kawannya untuk menarik paksa tahanannya ke ruang eksekusi.

“Kau.”

Amarah yang hilang kendali kesadaran berhasil mengacaukan rencana dari dua komunitas itu. Tembakan senjata api, meja yang terlempar, darah yang menjadi peran tambahan dalam pertengkaran, dan kematian satu di antara mereka tidak cukup menjadi lampu merah bagi dua komunitas berbeda pemikiran.

“Angkat tangan…!” seruan dengan tembakan berhasil menghentikan kekacauan dalam tempat bekas klinik kesehatan pemerintah.

“Di dalam sana ada seorang wanita yang dilecehkan,” ucap Bryan mengabaikan kakinya yang telah berlumuran darah akibat pertengkaran itu.

“Letakkan senjatamu dan angkat tangan,” tegas seorang polisi tidak memedulikan ucapan Bryan.

“Tangkap saja mereka,” ketus Bryan berlari ke dalam ruangan hendak mencari wanita paruh baya dengan berlian di lehernya, terus mengacuhkan rasa sakit yang mengikat kakinya, dan terduduk diam saat sesuatu menembus paksa kulit punggungnya dengan suara yang menyakitkan telinga.

“Sudah aku katakan ada wanita di suatu ruangan ini yang dilecehkan,” lirih Bryan sebelum terjatuh tak sadarkan diri dengan wanita tersenyum kecil yang menjadi pandangan terakhirnya.

***

“Dimana Bryan, Hendrik, dan Rizky?” tanya seorang pria bertubuh tinggi dengan setelan almamater kampus swasta.

“Aku tidak tahu tetapi hal terakhir yang aku dengar sebelum mereka pergi adalah wanita dalam kejaran komunitas motor,” sahut pria lainnya tanpa ekspresi dengan tetap terfokus pada layar ponsel.

Berdeham angkuh dan mengeluarkan ponsel dari saku menjadi akhir dari pembicaraan dua pria itu, ponsel yang bergetar hebat sebagai tanda adanya sambungan telepon yang harus segera dijawab. “Sambungkan ke pengeras suara ponselmu karena aku ingin mendengarnya,” ujar pria yang sibuk dengan ponselnya setelah melirik nama yang tertera di sambungan telepon itu.

“Selamat siang kami dari kepolisian setempat, apa ini dengan Leonardo Alvino?”

Melirik temannya dengan tatapan takut dan menggeleng pelan cukup menjadi jawaban bahwa ada ketidaksanggupan untuk berurusan dengan pihak berwajib. “Benar ini ponsel Leonardo dan ini saya Reyhan Kurniawan selaku sahabat dari Leo,” jawab pria lainnya mengambil alih ponsel dan membiarkan Leo terdiam dalam ketakutannya.

[TELAH TERBIT] KAMI ANAK VESPA [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang