Cerita Traveler di Keraton Solo

3 1 0
                                    

Takdir bisa saja membawa kebetulan dalam pertemuan.


Suara deru kereta api telah berhenti. Kami berdua menghentakan kaki menuruni peron. Kerumunan orang beradu jalan untuk sampai tujuan masing-masing. Sedangkan kami masih sibuk memperhatikan kereta commuter line bercorak batik melesat secepat kilat.

"Sekarang kita ke mana, Al?" tanyaku pada teman seperjuangan.

"Cari BST ke arah keraton, Pit."

Tak butuh lama berpikir. Kami mengikuti petunjuk arah keluar dari stasiun Purwosari. Jalan kaki agaknya salah satu opsi pilihan kami untuk sampai di halte Bus Solo Transit. Kami bertanya pada supir bus, hanya sekadar memastikan kebenaran arah tujuan kami. Yah, tujuan utama kami keraton Solo. Kesalahan arah adalah kebodohan sebagai pelancong seperti kami jika malu bertanya. Bahkan, GPS dalam keadaan ini pun tidak berguna.

Lagaknya semua orang yang berada di bus mempunyai tingkat keegoisan yang berbeda-beda. Mereka tidak ada niatan untuk memberikan kursi nyaman yang mereka duduki. Bahkan, orang tua pun harus sukarela berdiri seperti kami berdua. Ini cukup miris bagi anak muda yang kurang pengertian. Sayangnya, kami tidak bisa bertindak sesuka hati di kota orang. Akhirnya semakin lama, kami terdorong ke depan dekat supir karena jejalan orang yang semakin menghimpit.

Keberuntungan. Mungkin yang sedang kami rasakan. Dari depan bus, kami berdua bisa menikmati kota Solo yang membentang di jalan. Bus mengebut hati-hati. Hati kami berdebar-debar menikmati hebatnya supir mengendarai bus kecil ini. Kami saling berpandang puas dan tersenyum kecil.

BST mendekatkan diri di halte dekat keraton Solo. Kami turun dan memasuki gerbang megah menuju dalam keraton. Barang-barang dagangan berjejer rapi di sepanjang jalan. Kami tergelitik membeli topi untuk menutupi wajah yang kepanasan. Bukan kulit menghitam yang kami takutkan. Kami hanya butuh topi untuk menghalangi matahari yang menyengat.

"Kalian bukan orang sini, kan?" sapa cowok bersama 2 temannya yang berpakaian seperti petualang.

Kami mengabaikannya. Dan masih sibuk memilih topi yang kiranya cocok untuk dipakai.

"Kita bicara sama kalian, lho." ujar cowok satunya yang menggunakan penutup kepala.

"Tolong jangan ganggu kita!" jawab Alya ketus. Dia temanku yang cukup berani membantai orang yang menganggunya.

"Kita nggak niat ganggu kok. Kita cuma pengin gabung sama kalian aja. Aku Dito." dia mengenalkan diri. "Dia Reihan." dia menunjuk teman yang memakai penutup kepala. "Dan ini, Rogi." teman satunya yang paling tampan dan pendiam di antara mereka. "Boleh gabung, kan?"

"Maaf. Kayanya nggak. Kita nggak gampang mempercayai orang baru. Permisi." sahutku sopan. Kami cepat-cepat memilih topi sekenanya. Dan cepat-cepat melancong untuk menjauhi mereka bertiga.

Cowok bernama Dito menghalangi jalan kami berdua. "Kita bukan orang jahat. Biasanya kita suka berbaur bareng traveler lain kok. Jika kita nggak boleh gabung, seenggaknya kasih tahu nama kalian dong."

"Aku Alya." tukasnya. "Dan temanku Pipit. Udah kan? Silakan kalian pergi."

Kami berlari cepat menuju museum.

Menikmati jalan-jalan adalah prioritas utama kami. Jadi lupakan penganggu tadi. Tiba-tiba, badan kami membentur bahu turis asing. Sontak, kami meminta maaf terhadapnya. Lalu, kami melanjutkan mengelilingi museum setapak demi setapak. Prasasti, foto sultan beserta istrinya, kendaraan kesultanan, dan naskah-naskah kuno memuaskan mata kami berdua.

Destinasi tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Menara. Kami berdua terperangah melihat ketiga cowok itu sedang memotret panggung Sanggabuwana. Awalnya, kami berniat kabur sampai cowok bernama Dito memanggil nama kami berdua. Penyesalan datang pada perasaanku. Kenapa kami memberi tahu nama kami ke mereka sih?

"Wah! Kayanya kita emang berjodoh buat temenan." kata Reihan.

"Kalian nggak ngikutin kita, kan?" tuduhku seraya memelototi mereka.

"Enak aja! Jangan asal tuduh tanpa bukti dong. Faktanya kita sampai di sini duluan. Jangan-jangan kalian yang buntutin kita. Iya nggak tuh?" cibir Dito yang masih memegang kamera DSLR.

"Nggak penting banget kita ngikutin kalian!" sergah Alya membela diri.

Cowok bernama Rogi baru mengeluarkan suaranya. "Kita makan, yuk. Aku udah kelaparan nih." keluhnya sambil memegangi perut. Kedua temannya mengiyakan permintaanya.

"Kalian mau ikut kita?" ajak Reihan ramah.

"Nggak, makasih. Kalian aja." jawabku tak kalah ramah.

"Mending kalian ikut aja. Kalau kalian keseringan menghindar, nanti malah sering ketemu kita terus." Dito menyampaikan teori tak masuk akalnya.

Alya mendengus. "Mana mungkin." dia menarik tanganku menjauhi mereka. Tanpa sopan santun dan berpamitan kami meninggalkan mereka.

Aku harap, perkataannya tidak terjadi. Kebetulan itu memang ada. Namun bukan berarti itu akan sering terjadi, kan?

Kami kelelahan mengitari kota ini. Banyak makanan yang kami cicipi. Dan, satu minuman bernama 'jamu kunyit' yang kami beli pada nenek paruh baya menjadi cita rasa yang membekas di lidah. Sebelum kami benar-benar sampai di stasiun untuk pulang, serabi Solo menarik perhatian kami untuk menghampirinya. Dan, kami tergoda untuk membeli sebagai oleh-oleh.

Sesak. Kami berdesakan di koridor kereta. Malam membuat isi kereta membludak. Kami terpaksa duduk di lantai. Merenungi ketidakberdayaan ini. Suara berat mengejutkan kami berdua. Ketiga cowok itu satu gerbong bersama kami? Kebetulan? Tidak mungkin kebetulan terjadi berulang-ulang, bukan? Lagi-lagi mereka mendekati kami.

"Teoriku benar, kan, nona-nona?" Dito menyeringai puas. Aku dan Alya menghela napas panjang. "Jadi kalian juga mau ke jogja? Kita juga." ucapnya merasa menang.

"Iya, tapi cuma sebentar." Kini giliran aku yang menyeringai. "Tujuan utama kita ke Semarang."

"Kalian memang penganggu, ya! Tapi karena kita udah terjebak di sini. Mending kita jadi teman aja." Saran itu keluar dari Alya. Aku menginjak kakinya. Dia meringis kesakitan.

"Saran yang baik. Ayo kita adu main sampai di stasiun lempuyangan. Bagaimana permainan batu-gunting-kertas. Kalau ada yang kalah, dahi jadi sasaran jari pemenang." Rogi menyarankan permainan seru.

"Baiklah." jawabku menyerah pada takdir pertemuan kami semua.

Kumpulan CeritaWhere stories live. Discover now