9 Bagian 2

724 119 1
                                    

Mata.

Mata jahat.

Tidak ada dansa-dansi, tidak pula senandung. Santuarium melenceng jauh dari keindahan. Atau, mungkin, Santuarium dibangun dari mimpi buruk. Kian masuk ke dalam Santuarium, mereka dibawa menjelajah dalam kegelapan.

Kegelapan sejati.

Berderet balkon melingkari arena. Di langit-langit tampak bermacam batu cahaya ditata menyerupai kalender purnama. Sinarnya menyorot arena; memendarkan cahaya temaram ... cenderung muram. Para vampir menempati barisan kursi yang tersedia. Alivia bergeming, tak ingin seruangan dengan mereka.

Tetapi, kesempatan menemukan Theo mungkin tidak datang dua kali.

“Kemari,” Eru menuntun Alivia menjauh, “kau mungkin tidak menyukai keramaian.”

Salah satu alis Alivia terangkat, sangsi. “Keramaian?”

“Kita memiliki tempat khusus.”

Kata “kita” terdengar begitu berat di telinga Alivia. Terlalu aneh baginya merasakan kedekatan di antara mereka. Singa takkan takluk kepada mangsanya. Kecuali, kata Alivia dalam hati, semua mangsa bersatu menyerang singa.

Eru membimbing Alivia ke koridor teratas. Di sana berjejer beberapa bilik yang menghadap langsung ke arah arena. Sebagian bilik telah ditempati beberapa vampir. Alivia melihat, walau sekilas, lelaki berambut putih yang mengangkat cawan anggur kepada Eru.

“Abaikan dia,” Eru memperingatkan.

Alivia patuh. Kali ini dia tidak ingin mengundang masalah apa pun. Hanya malam ini.

Keduanya menuju bilik. Eru memerintahkan pelayan yang ada di bilik segera hengkang dan mereka pun mematuhi tanpa mendebat.

“Sangat nyaman.” Alivia mengistirahatkan diri di sofa, matanya awas menatap arena. “Acara pernikahan?”

“Bukan,” Eru menjawab.

“Kau tidak malu duduk bersamaku?”

“Kau tidak malu duduk bersama vampir?”

“Hei! Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”

“Kenapa kau tidak bisa menikmati pertunjukan?”

Pertunjukan?

Alivia memandang tepat ke arena. Sadarlah ia bahwa bagian dasar balkon menampakkan jeruji. Terdengar suara denting besi. Sesosok pria melangkah gontai menuju tengah arena. Pria itu tidak terlihat menjanjikan apa pun, dalam tanda kutip sebagai tampilan, namun Alivia paham bahwa siapa pun yang mengadakan acara ini tak lebih buruk dari yang mengidekan perbudakan manusia.

Berlama-lama Alivia mengamati si pendatang; tubuh kekar, tak beralas kaki, atasan kumal yang memperlihatkan bisep, dan rambut acak-acakkan. Hadirin menyuarakan hinaan, di antara mereka bahkan berani mengucapkan kata-kata rendahan. Kemudian secara serempak mereka berteriak, “MATI! MATI! MATI! MATI!” Kor neraka menginginkan pertumpahan darah. Mereka takkan puas sebelum pria ini sekarat.

“Dia bukan manusia,” Eru menjelaskan. “Kau tidak perlu mencemaskannya.”

“Lelaki itu akan mati.” Alivia tak sanggup berpaling, pandangannya kini terkunci kepada pusat arena. “Kalian ingin membunuhnya.”

“Dia tidak mudah dibunuh.”

Suara lain kini memadamkan gelombang koar peminta kematian. Suara ini lebih buas, ganas, dan menjanjikan maut. Perlahan jeruji di ankat, mempersilakan mimpi buruk menunjukkan wajahnya.

***

Diterbitkan pada 26 Agustus 2019.

Nocturne (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang