6. Bersatu

46.3K 4.8K 191
                                    

Ini persis seperti yang Minara inginkan, tampaknya. Saat ini, keluarga Prabu sudah ada di rumah bapak dan ibu. Yup, mereka tengah bercengkrama setelah menentukan tanggal pernikahan gue dan Prabu. Dua bulan lagi adalah hari pernikahan gue dan delapan bulan kemudian, giliran Minara dan juragan frozen food itu yang menikah.

Mau tau bagaimana tanggapan ibu saat keluarga Prabu mengutarakan maksud mereka datang? Gue bahkan belum pernah melihat senyum ibu sesumringah ini. Tanpa tedeng aling-aling, wanita yang rela rahimnya gue tempati selama beberapa bulan dulu, menerima lamaran keluarga Prabu dan dari wajahnya, gue bisa prediksi kalau ibu kagum dengan Prabu.

Yeah, siapa sih yang gak kagum sama Prabu? Ganteng, badannya proporsional, kerjaan mapan, tampang tampan, dan pastinya ... hidup nyaman. Ibu bahkan sempet cubit lengan gue waktu kami berada di depan pintu menyambut keluarga Prabu. Istrinya bapak ini bahkan berbisik, "Kurang ajar, kowe. Lanang ganteng gini kok gak mau diseriusi."

Gue cuma nyengir aja menanggapi komentar ibu saat pertama kali melihat sosok Prabu. Ibu mungkin seperti gue, jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Kok melamun?" Gue menoleh pada asal suara yang bertanya. Prabu. "Berat ya, menerima lamaran saya?" Dia berbisik di telinga gue dan mendadak, sekujur tubuh gue merinding.

"Enggak, Mas. Feby cuma ..." Gue gigit bibir. Bingung mau jawab apa.

Prabu tersenyum lembut menatap gue. Bikin hati gue jadi gimana ... gitu. "Gak mau ajak saya jalan-jalan atau kita ngobrol berdua di depan?" Gue menoleh dan memasang raut tanya, apa maksudnya. "Para orang tua suka lama kalau sudah rembukan masalah acara. Pengalaman waktu Shinta begitu. Sekarang juga pasti lama." Dia menjelaskan dan gue paham.

Gue mengangguk lantas pamit pada para orang tua kami dengan alasan ingin membeli cemoe di alun-alun. Ibu minta dibungkuskan beberapa agar orang tua Prabu juga bisa mencicipi minuman hangat khas kota tercinta orang tua gue. Kami berangkat menggunakan motor matic milik Minara.

Canggung, sumpah. Saat berdua lesehan di emperan trotoar bareng Prabu. Gue sedikit minder. Kira-kira, cowok metroseksual macem Prabu ini, pernah nongkong di lesehan trotoar kayak gini gak ya?

"Tuh, kan, ngelamun lagi." Prabu menyadarkan gue lagi.

Gue menggeleng. "Enggak, Mas. Feby gak melamun, kok," kilah gue.

"Terus kenapa diam saja?"

Gue tersenyum tipis. "Feby cuma ... gak nyangka aja. Dua bulan lagi kita beneran punya hubungan yang gak main-main. Padahal, ini bermula dari mulut Feby yang gak bisa direm waktu itu."

Giliran Prabu yang sekarang senyumin gue pake senyum mautnya itu. "Kita gak pernah tau, Feb. Bagaimana cara Tuhan mengirimkan kita pendamping. Seperti apa mereka, bagaimana awal bertemunya, dan ... akhir ceritanya." Wajah Prabu mendadak melankolis dan gue lihat dia kayak menghela napas antara pasrah dan lelah gitu. "Saya mau berpesan sama kamu sebelum kita benar-benar menjalani pernikahan ini nantinya."

"Apa?" Gue meletakkan mangkuk isi cemoe ke mejanya dan memilih fokus memperhatikan wajah dan ucapan calon suami gue ini.

"Mungkin tidak akan mudah awalnya. Tapi, kamu harus yakin pada saya dan tetap menjaga ketulusan cinta kamu."

Gue menggeleng pelan. "Feby gak ngerti, Mas."

Ada binar sendu di mata Prabu meski dia mencoba menutupi itu dengan senyum lembutnya. Gue biasa ketemu orang, jadi gue bisa baca dengan jelas gambaran wajahnya sekarang. Tapi gue gak tau, apa yang sedang dia pikirkan saat ini. "Saya belum sepenuhnya mencintai kamu. Tapi, saya sangat serius ingin membangun rumah tangga sama kamu."

Serenity (Pengorbanan Cinta dalam Pernikahan)Where stories live. Discover now