20. Pasukan Anti Teror

11 6 0
                                    

Moza terdiam di kamarnya, duduk di pinggir ranjang. Di seberangnya, Filecia merebahkan diri dengan santai.

"Mikir apa sih? Serius amat?" tanya Filecia.

"Hhhh. Aku mau tanya dulu sama kamu. Kamu tahu kan, dalang semua kerusuhan ini?" tanya Moza.

"Jujur tidak. Tapi kayaknya si dia yang ingin membunuhmu itu," jawab Filecia.

"Dia ingin membunuhku?" tanya Moza.

Filecia menelan ludah. Meruntuk dalam hati. Sekarang dia berhadapan dengan dua teror. Dari Moza dan si dia itu.

"Jawab, siapa dia? Biar diadili!" suara Moza meninggi.

"Maaf, Moza. Aku harus menyembunyikannya dulu. Untuk mencegahnya melakukan hal berbahaya. Bisa dibilang aku ini cukup dipercaya olehnya sehingga diberi tahu hal ini, tapi sekali ini bocor, dia akan mengamuk, seisi kerajaan ini tak akan sanggup melawannya. Dia penyihir terkuat, kubilang," jelas Filecia.

"Tumben kau tidak sambil menangis membicarakannya."

"Hahaha. Lucu sekali. Tapi saya serius, Yang Mulia," sinis Filecia.

"Begitu. Bahkan Hyxone juga kalah?" tanya Moza.

"Sepertinya begitu," kata Filecia.

"Hufft. Eh, kok kamu santai banget sih? Bukannya keluargamu baru diculik?" tanya Moza.

"Gak ada gunanya panik, toh polisi sudah mencarinya. Panik hanya buang-buang energi saja," kata Filecia.

"Iya sih. Ya sudah, habis ini aku mau menemui ayahku, ada yang harus dibicarakan. Kamu cepat mandi sana, malas," suruh Moza. Dia sendiri sudah mandi dari pagi tadi.

"Hehe sabar Moza, aku mandi kok, iya-iya!" cengir Filecia.

"Hus cepet!"

Setelah urusan itu selesai, Moza memakai jubahnya lengkap dengan mahkotanya. Dia segera menuju ke Ruang Singgasana.

"Ayah, aku ingin bicara sesuatu!" sapa Moza di depan pintu.

"Masuk!" katanya. Moza masuk ke ruangan itu. Dia berjalan lurus menuju singgasana, bahkan tidak berhenti untuk sekedar membungkuk.

Sampai di depan ayahnya yang heran, dia mencabut pedang Filecia, lalu melemparnya kuat-kuat ke arah ayahnya. Ayahnya terkejut, berteriak keras, body guardnya terlambat bereaksi. Ayahnya menutup muka dengan kedua tangan, sebelum muncul gelembung ungu yang menghentikan laju pedang itu.

"Ayah bisa sihir."

Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Rixhurn misuh-misuh.

"Sialan kau, bocah kurang ajar! Hampir saja aku mati konyol!" runtuknya.

"Nyatanya tidak tuh. Jadi, kapan Ayah akan mengumumkan pencabutan larangan itu?" tanya Moza.

"Rakyat akan protes, Moza," katanya.

"Tidak akan! Kita akan jelaskan sejarah pelarangan itu, kemudian manfaat sihir untuk melindungi diri, di situasi seperti ini, tentunya kita tidak bisa terlalu mengandalkan pengawal, kan?" tanya Moza.

"Kamu betul juga. Kalau begitu, nanti kita rapat kecil dengan Hyxone, Menhir, dan Menhankam," putus Rixhurn.

"Aku juga minta guru untuk mengajari sihir dan berpedang. Aku sebenarnya sudah sedikit menguasai teknik pedang, berkat Filecia. Tapi dia prajurit, bukan pelatih. Pengajarannya tidak mudah dipahami untuk pemula sepertiku. Aku butuh guru yang bisa mengajari dari nol," pinta Moza.

"Sekalian nanti aku suruh Menhir dan Menhankam, apa lagi?" tanya Rixhurn.

"Keluarga Lisbeth sudah ditemukan?" tanya Moza.

Catez Prince [Bersambung Ke Buku 2]Where stories live. Discover now