Sakit

3.4K 229 5
                                    

Cinta yang terlalu menggebu di awal, biasanya pahit di jalan.

*Jomblo takut

Angga menarik lengan Viola sehingga ia terjatuh di dada Angga.
Mereka saling diam di posisi itu. Sampai suara dentingan lift berbunyi dan beberapa orang keluar dari lift sehingga suasana tak sepadat sebelumnya. Angga melepaskan tangannya dari pundak Viola. Sedang Viola mencoba menatap Angga. Dan lagi-lagi ia tak mendapatkan balasan. Angga membuang pandangan.

Di lantai berikutnya mereka sampai. Pintu lift terbuka. Angga keluar di ikuti Viola menuju pintu apartemen.
Angga hanya membuka pintu, kemudian masuk dan berlalu. Viola masih setia membuntuti dan menutup pintu.

"Mau makan apa?" Tanya Angga pada Viola. Di jawab gelengan saja.

"Minum?" Lagi Angga menawarkan. Masih di balas gelengan.

Viola menatap Angga yang masuk ke dalam kamarnya. Seakan Angga benar-benar sedang malas, marah dan tak ingin melihat Viola.

Tak tau harus berbuat apa, Viola duduk di sofa ruang Tv.
Entah lelah atau terlalu lama menunggu. Ia tertidur di sana. Tengah malam ia terbangun. Tak ada Angga. Mungkin masih di dalam kamar. Pikir Viola, tanpa berfikir panjang. Ia membuat keputusan, bahwa Angga memang tidak peduli padanya. Apa yang dia lakukan disini. Akhirnya ia beranjak pergi dari sana. Entahlah nasib buruk apa yang sedang menimpanya belakangan ini. Setelah di tinggal Vano, kini Angga pun menjauh. Dan sama sekali tak peduli.

Pukul 3 pagi Viola sampai di kontrakan kecilnya.
Keesokan harinya ia berangkat kerja lebih pagi agar tak bertemu Angga. Yang biasa menjemputnya pukul tujuh.

Telfon di mejanya terus berdering. Malas menjawab tapi ini pekerjaannya bukan?
"Halo, dengan saya Viola ada yang bisa saya bantu."

"Pagi Vio, kenapa suaranya lemes gitu?"

"Masa sih pak? Viola baik kok." Jawab Viola berbohong.

Terdengar suara kekehan di ujung telfon. "Kata orang kalau cewek udah bilang aku baik, berarti dia sedang tidak baik-baik saja."

"Rumus dari mana?" Tanya Viola

"Sudahlah Vio, saya lima tahun lahir lebih dulu dari kamu."

"Pak Danar sok tau." Jawab Viola setengah kesal. Ia sangat hafal suara orang-orang yang sering menghubunginya melalui telfon di meja.

"Sudah terima email saya? Tolong closing minggu ini ya? Akhir tahun. Kami mau libur panjang?"

"Stock aman pak. Sampai tahun depan."

"Pinter kamu ngomong. Ya lah tahun depan itu tinggal menghitung hari. Kamu cocok kerja jadi marketing Vio."

Viola memutar bola mata malas. "Oke pak Danar. See u on email. Di tunggu saja balasan email dari saya ya. Selamat pagi dan terimakasih." Viola menutup telfon.

"Kenapa ngga ngomong kalau mau berangkat sendiri?" Angga membungkuk dengan tangan kiri di kursi dan tangan kanan di meja Viola.

Kaget itu pasti. "Memang aku harus ngomong?" Jawab Viola agak bergetar.

"Oh. Jadi ini mau kamu."

Viola hanya terdiam. Pura-pura sibuk memperhatikan angka-angka di monitor komputernya. Ada penyesalan di dalam hati karena telah mengeluarkan kata barusan. Tapi apalah daya.

Dengan wajah kecewa Angga pun segera beranjak ke mejanya.

"Violaaaaa." Teriak bos Hakim.

"Segera Viola mengemasi laporan menuju ruang meeting.

KubikelWhere stories live. Discover now