An Ordinary Girl

55 12 46
                                    

SMA, orang bilang ini adalah masa-masa paling indah, tak terlupa dan selalu dalam kenangan. Hm, ada benarnya sih, bagaimana bisa lupa dihukum lari keliling lapangan tanpa alas kaki tepat pada saat bel istirahat berbunyi? oh atau ketika mendapat masalah saat memaksimalkan alibi 'latihan upacara' untuk meminta dispensasi tak belajar di kelas selama dua minggu penuh? ya, itu hal yang biasa terjadi pada masa SMA apalagi jika mendapati teman-teman sekelas yang kompak absurdnya.

Gue Salsabil Anastasya. Terlalu banyak nama panggilan yang tertuju buat gue, contohnya Salsa, Abil, Anas, Tasya, Asta, Ndut, Kiting, Gembul dan masih banyak lagi. Menginjak tahun kedua di SMA, tapi rasanya belum pernah ada cerita lain yang buat gue akan mengenang masa-masa ini hingga tua nanti, terlalu monoton, udah kayak plat nomor kendaraan Jakarta, b aja.

Siang ini seperti hari-hari biasanya, istirahat kedua atau jam pulang sekolah -untuk beberapa kelas yang tak berlabel 'unggulan'- gue habiskan dengan memanfaatkan waktu untuk menyantap makan siang, sebelum bel berikutnya berbunyi dan melanjutkan pelajaran. Tidak ada pilihan selain bakso favorit, karena sejujurnya gue juga kurang begitu suka makan nasi. Langkah kaki gue terhenti saat sebuah suara berat sempat memekakkan telinga buat gue terlonjak begitu saja dan mengalihkan atensi gue sepenuhnya.

"Bil, ayo OSIS!" Sakha, salah satu sahabat gue yang juga sama-sama pengurus OSIS tapi berada di kelas yang berbeda.

Ah, sial. Baru juga mau ke kantin tapi udah harus diingatkan oleh kenyataan tentang event yang akan segera diselenggarakan oleh OSIS sebentar lagi.

"Makan dulu kali, istirahat pertama tadi gue nggak ngantin," bibir gue otomatis maju beberapa senti dan berharap belas kasihan.

"Anak-anak udah pada ngumpul loh, sebentar doang kok. Abis itu baru makan, persediaan lo masih banyak juga," kata Shaka sambil tersenyum jahil menyebalkan.

Ya, maksudnya persediaan masih banyak adalah lemak! L-E-M-A-K! emang dasar teman sialan.

"Emang lo mau gotong gue kalo gue pingsan? hah? nggak kan? gue mau makan dulu titik!" rentet gue tak mau kalah sambil terus mendengus sebal. Tak ingin berpikir panjang, gue akhirnya kembali melangkahkan kaki meninggalkan Shaka, namun tangan cowo tinggi itu sudah lebih dulu terulur menarik tas dan menyeret gue untuk mengikuti langkahnya begitu saja. Oke gue pasrah.

Tangan Shaka kini berpindah jadi mengalung di leher gue. Tentu saja dia masih setia menyeret gue dengan paksa untuk mengikuti langkahnya menuju ruang OSIS. Ingatkan gue untuk melaporkannya nanti pada Kak Seto, ini sudah KPTS namanya! Kekerasan Pada Teman Sendiri.

"Bawel banget kenapa sih?" tanya cowo itu.

"Gue diem ya," sungut gue kesal.

"Pikiran lo tuh, bawel."

Masih dengan dengusan sebal gue menatap wajah Shaka dan detik kemudian sebuah sentilan ringan menyerang kening gue.

"Nih sampe kerut-kerut. Bawel banget pikirannya, berisik," ucapnya menjelaskan.

"Ya lagian gue laper ih, anak OSIS kalo udah kumpul mana bisa selesai sebentar," ya bodo amat gue masih kesel nggak bisa me time sama bakso favorit gue.

"Nggak, kali ini sebentar. Mau masuk pelajaran lagi juga kan anak-anak."

Oh, ya betul juga. Anggota OSIS kan rata-rata anak pintar, bukan maksudnya menyombong tapi itu kenyataannya. Tapi kayaknya cuma gue aja yang nggak sadar, mungkin karena mereka semua nggak lebih dari sekadar anak monyet lepas buat gue. Padahal ngakunya anak kelas unggulan.

"Kalo sampe gue keabisan bakso si Kumis, lo yang gue makan!" ucap gue akhirnya mengalah dan pasrah mencoba tenang.

"Hahaha iya." Tawa Shaka terdengar renyah dan bisa gue rasain usakan pelan di rambut gue, ulah Shaka tentu saja.

B I L AWhere stories live. Discover now