Epilog

638 58 27
                                    


Karis point of view

"Apa keadaan saya mengkhawatirkan, Dok?" tanyaku pada dokter Wikan.

"Sepertinya anda sudah mengalami kejadian menyakitkan berkali-kali, PTSD yang anda alami cukup serius," jelas Dokter Wikan. "Terapi dan obat anti depresan akan membantu anda tapi bagaimana pun, motivasi dalam diri anda tetap yang terpenting," lanjutnya.

Bayangan percakapanku dengan Dokter Wikan dua bulan yang lalu masih terngiang. Sungguh, aku tidak pernah mengalami yang seburuk ini. Satu minggu penuh aku tidak tidur setelah kejadian itu. Saat mataku terpejam, satu mimpi buruk menyergapku membuatku kembali terjaga. Dan sekarang, setelah dua bulan berlalu, keadaanku masih belum sepenuhnya pulih. Padahal terapiku pada Dokter Wikan masih terus berlanjut via video call karena aku memilih untuk tinggal di Bali sementara waktu.

"Karis," panggil sebuah suara berat yang sedikit bergetar.

"Ayah," gumamku. "Sunset di Sanur memang mempesona ya, Yah?" ucapku. Ayah memegang lenganku dengan tangan kirinya dengan susah payah. Stroke yang menyerang ayahku sejak kejadian dua belas tahun lalu memang belum sepenuhnya pulih. Sisi kiri tubuh Ayah masih belum sepenuhnya berfungsi kembali dengan baik.

Meskipun begitu aku bersyukur. Setidaknya Ayah masih hidup tidak seperti Ibu yang terkena serangan jantung tepat saat pemakaman Mbak Kinta dan menyusulnya setelah tiga hari di ICU.

"Sudah dua bulan, Ris. Apa rencanamu setelah ini?"

"Apa Kapolda Untung masih menghubungi Ayah?"

Ayah mengangguk. "Ya, dia menangguhkan surat pengunduran dirimu. Dia tetap berharap kamu kembali."

Aku menggeleng mantap. "Keputusanku sudah bulat, Yah. Lagi pula kasus Mbak Kinta sudah terpecahkan," dan aku mengidap PTSD, aku tidak bisa jadi polisi. Aku melanjutkan kalimatku dalam hati. Tidak ingin Ayah tau kondisiku.

"Lalu apa rencanamu le? Kamu mau tetap disini? Padahal Ayah sudah ingin kembali ke Jogja," kata Ayah.

"Kita akan ke Jogja besok kalau Ayah mau. Aku akan ikut Om Budhi menjalankan bisnis kita."

"Apa kamu tidak ada rencana memberi ayah menantu dan cucu?" pertanyaan Ayah begitu menohokku. Aku pikir Ayahku tidak akan menanyakan hal-hal seperti ini tapi ternyata dia tetap seperti orang tua yang lain.

"Ris, rumah pasti membosankan tanpa satu pun perempuan di keluarga kita," lanjut Ayah.

"Rasanya takdir memang belum berpihak padaku untuk menikah."

Ayah menepuk bahuku pelan. "Bagaimana dengan keponakan Untung?"

"Alma? Dia sibuk dengan pasiennya." Secara tidak langsung, pertanyaannya tentang Alma membuat pikiranku bergulir padanya. Aku belum bertemu dengannya lagi sejak makan nasi goreng buatannya lebih dari dua bulan lalu. Bahkan, aku juga belum punya nyali menemuinya untuk sekedar menjelaskan kenapa aku perlu meminta Arsyad mengamankannya ke Mapolda waktu itu.

Biarlah. Mungkin Alma sudah berubah pikiran sekarang dan menikah dengan Arsyad secepatnya. Aku akan menghadiri undangan mereka dengan senang hati.

"Ayah pikir kalian dekat," kata Ayah membuatku terhenyak dan memilih diam tak menjawab. "Dia cantik, baik, dan pintar. Dia mengenalmu dari dulu," lanjut Ayah. Aku mulai paham arah pembicaraannya.

"Dia terlalu indah untuk masuk di kehidupanku yang miris. Biarkan dia menemukan kebahagiannya sendiri," kataku memotong pujian Ayah pada Alma. Ayah tersenyum kecil.

"Maafkan Ayah yang tidak sempat mengajarimu soal bagaimana mencintai seorang gadis, Ris." Ayah mengulum senyum membuatku bingung.

"Maksud Ayah?"

"Harusnya Ayah mengajari kamu bahwa mengkhawatirkan seseorang adalah bagian dari perasaan cinta."
Aku makin tidak mengerti.

"Ucapanmu barusan menggambarkan jelas betapa kamu peduli pada Alma, Ris. Kamu hanya takut karena kamu terlalu menyayangi gadis itu," ucap ayah dan sontak membuatku tercengang.

"Mungkin kamu perlu waktu untuk menerjemahkan isi hatimu sendiri," jelas Ayah singkat tapi begitu menusuk hatiku. Aku diam tak bisa berkata-kata lagi.

***

Alhamdulillah selesai
Silahkan ungkapkan kesan kalian ya, readers 😊

Sampai ketemu di cerita selanjutnya ❤️❤️❤️

Beyond the Mission (Sudah Terbit- Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang