Prolog

40 10 14
                                    

AMB_publisher

Januari, 1965

Bagi sebagian orang, apabila menyukai sesuatu -entah orang, barang atau apa pun itu- yang dapat membuatnya bahagia, pasti dia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Tidak peduli seberapa besar risiko yang akan dia hadapi, tapi tetap dilakukan demi memuaskan hasrat dalam diri.

Sama halnya dengan pemuda berpenampilan berantakan yang tengah duduk melamun di tepian tempat tidur. Dalam hidupnya saat ini, dia hanya menginginkan sebuah cermin yang seminggu terakhir dibuang oleh ayahnya. Cermin itu berbentuk oval, bingkainya dihias dengan ukiran dua bunga berwarna biru, baik di atas maupun di bawah cerminnya. Bagian tepi bingkai dicat berwarna emas.

Namun, ketika dia mencoba mencari, seluruh keluarga melarangnya untuk mencari cermin itu. Bukan hanya melarang, saat ini keluar rumah pun tidak diperbolehkan. Bahkan seluruh jendela di rumah kuno yang berdiri sejak 1900, dengan luas seratus meter persegi berbentuk leter L itu semua dikunci dan diberi pagar besi agar pemuda berkulit sawo matang itu tidak melarikan diri.

Seluruh keluarga kini berkumpul di kamarnya. Mata mereka menatapnya prihatin. Pemuda itu kini dengan posisi terlentang tak ada hentinya meraung meminta untuk dilepaskan. Namun, tak ada yang peduli, mendekat pun tidak. Sementara itu dua orang pria tengah memegangi tubuhnya yang semakin meronta.

"Lepaskan aku, Ayah!"

Kedua kakinya menendang ke arah kanan, mencoba menyerang salah satu pria berjenggot putih yang dipanggilnya dengan sebutan 'Ayah'. Kemudian bergantian menendang ke arah kiri pada seorang pria berkumis tebal yang mengenakan pakaian serba hitam dengan sebuah sorban hitam melilit di kepala. Keduanya bersama-sama merapalkan doa agar dia dapat terbebas dari hasutan setan yang menempel sejak dua tahun terakhir.

Pria berjenggot putih itu sedikit merasa lega karena anaknya mulai terdiam. Teriakannya tak lagi kencang dan memekakkan telinga. Kaki dan tangannya tak lagi menendang dan mencakar. Sudah banyak luka yang timbul akibat ulah anaknya itu. Bahkan, Pak Jarwo yang berprofesi sebagai dukun terkenal di daerah itu, sangat kualahan.

Mata pemuda itu menatap sayu kedua pria di hadapannya. Dia mencoba untuk tetap terjaga walau tubuhnya sudah tak mampu bergerak lagi.

"Pak, tolong untuk sekali ini saja. Tolong lepaskan aku. Jika tidak mau memberikan cermin itu, biarkan aku yang pergi dan mencarinya," pintanya dengan suara serak. "Kumohon. Jangan membuatku semakin menderita!" Lagi-lagi dia berteriak kencang dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki.

"Tidak, Nak. Kamu tidak boleh menemukan cermin itu. Lihatlah dirimu! Kurus, kering. Tidak ada gunanya meminta cermin itu lagi!" bentak ayahnya.

"Benar apa yang dikatakan ayahmu, Fin. Sadarlah, jangan membuat semua orang khawatir." Pak Jarwo kini angkat suara, mencoba menasehati pemuda itu dengan tenang.

Setelah pemuda itu tenang dan tertidur pulas, sekuruh keluarganya berunding. Berusaha mencari solusi terbaik agar dia tetap hidup dan bangkit menjadi manusia normal. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi apabila dia terlepas. Salah satunya yang paling fatal adalah bunuh diri. Tentu hal itu akan membuat seluruh keluarga merasakan kehilangan. Ayahnya pun tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada anak semata wayangnya.

Semua telah sepakat akan memasung pemuda itu di tempat jauh dari rumah dan permukiman warga. Mereka membawanya ke dalam hutan pinus. Di sana terdapat sebuah gubuk kecil yang masih layak untuk ditinggali dan jauh dari permukiman warga sekitar.

"Ayah akan selalu menjengukmu di sana, Nak," ucap ayahnya seraya mengusap lembut ujung kepala pemuda itu.

Dalam hati pria berjenggot putih yang kerap dipanggil Pak Warlan itu, dia sangat menyesal karena selama ini tidak pernah memperhatikan anaknya. Dia menyesal, sesuatu yang lain telah menggantikan posisinya sebagai orang terpenting dalam kehidupan seorang anak.

Pak Warlan dan Pak Jarwo, beserta beberapa warga mengantar pemuda itu dan memasungnya di hutan pinus. Di dalam gubuk yang masih terlihat kokoh, tidak ada penerangan sama sekali. Hanya beberapa lubang dari samping kanan dan kiri sebagai tempat sinar matahari maupun rembulan menembusnya.

Dalam keadaan yang cukup buruk, pemuda itu bergumam, "Tunggu aku, Sayang. Apa pun caranya, aku pasti akan menemukanmu kembali dan kita akan bersama lagi."

_____________________________________________

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca Revenged. Semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan jejak seperti; vote atau comment ya.

Kritik dan saran kalian sangat membantuku ❤️

RevengedWhere stories live. Discover now