Satu-Tanda Tanya

474 49 87
                                    

Tentang kenyataan bahwa aku berbeda dari teman-teman seusiaku, aku merasa tidak apa-apa.

Ada beberapa orang yang juga sama sepertiku, tapi mereka tetap bisa menjalani hari-harinya dengan biasa-biasa saja. Nurita, misalnya. Dia tetap berprestasi di asrama, meskipun hidupnya sering juga terusik. Menurutku, menjadi berbeda bukan satu alasan untuk tidak hidup, atau hidup tapi seperti mati. Suka menyendiri.

Hanya saja, menjadi berbeda butuh tenaga lebih banyak untuk terlihat kuat dan baik-baik saja. Misalnya, saat kamu jatuh dari tangga di depan banyak orang, mau tidak mau kamu harus tetap tersenyum kan, meskipun saat itu sedang kesakitan.

Seperti sekarang.

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Itu, tandanya akan ada banyak wajah baru yang akan terlihat. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang saling bergantian parkir di depan gerbang. Koper-koper besar yang isinya pakaian dan beberapa bungkus makanan ringan untuk cemilan. Atau isak tangis yang saling bersahutan karena mereka tidak mau ditinggalkan orang tuanya untuk hidup di asrama. Begitulah yang terjadi biasanya, bersikap masa bodo lebih baik.

Sudah tiga tahun aku tinggal di asrama ini, tapi kehidupanku berjalan biasa-biasa saja. Aku normal. Ya, barangkali ada yang menganggapku tidak normal seperti yang diperbincangkan banyak orang, yah, yang sedikit mengusik pendengaranku tentunya.

Mereka bilang, aku ini punya mata batin. Padahal, enggak. Tapi, aku saja tidak percaya dengan ke-enggak-an yang aku yakini. Sebab setelah masa tiga tahunku berlalu, aku sering mengalami hal-hal aneh. Seperti dibangunkan untuk menjalankan salat, dicubit kakinya supaya bangun tengah malam, atau terkadang juga di seret beberapa sentimeter dari tempatku tertidur supaya bangun lebih pagi.

"Mbak, kamu tuh ada yang ngikutin lho ...." Satu kalimat singkat yang menurutku sudah sangat jelas makna dibaliknya. Qonitta Agasya, gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang indigo, yang baru saja mendaftar ke asrama, mengatakannya saat berpapasan denganku.

Dari perkataannya, aku jadi ingin tahu lebih banyak lagi tentang diriku. Menanyakan siapa yang mengikutiku, misalnya. Atau, sejak kapan aku diikuti? Dan masih banyak lagi. Sayangnya, dia memutuskan untuk tidak jadi tinggal, setelah survei beberapa kamar di asrama. Entah apa sebabnya.

Hari itu, akhirnya menjadi hari di mana aku merasa lebih waspada dari siapa pun. Sejak itu juga perasaanku menjadi lebih peka, jadi sering merasakan keganjilan-keganjilan yang terjadi di asrama.

Asrama Hagers. Sebuah bangunan berlantai tiga, berdiri di atas tanah bekas pembuangan janin dari wanita pekerja seks komersial yang kebobolan saat melayani om-om penyewa. Bangunan asrama yang konon didirikan oleh seorang wanita, yang ingin menjadikan tanah pembuangan ini sebagai tempat yang lebih berguna dibandingkan hanya digunakan sebagai tempat pembuangan makhluk tak berdosa.

Inggarwati, seorang nenek berkulit keriput dengan sorot mata layu. Dialah yang mendirikan asrama ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Saat ini, tidak ada yang ia kerjakan selain duduk di atas kursi roda, didorong oleh seorang pengasuh lansia, Mbak Rara. Seorang nenek yang sering menatapku-seperti ada yang aneh pada diriku, tapi aku tidak peduli.

"Aletta Rasya, kamu dipanggil sama Rara tuh, suruh nemuin Eyang!" Tiba-tiba Nurita menepuk bahuku, membangunkan dari lamunan.

Aku mengangguk, kemudian menurunkan kedua kaki yang kusandarkan pada tumpukan kasur. "Hati-hati, horor tuh," kejar Nurita saat aku baru saja akan melangkahkan kaki. Aku tidak heran dengan sikap Nurita, sesama orang yang dibilang 'aneh' kami memang selalu berbagi pengalaman satu sama lain. Dan, salah satu kebiasaannya adalah menyebutkan namaku secara lengkap.

Mbak Rara masih berada di belakang kursi roda Eyang Inggarwati. Ia masih sibuk menyisiri rambut wanita sepuh itu yang sudah memutih. Bibirnya berkomat kamit, sepertinya mereka sedang membahas satu topik percakapan yang seru. Aku berjalan santai, membawa sebuah buku cerita dalam tanganku untuk menyembunyikan nervous. Mendekati mereka berdua, rasanya sama seperti dihadapkan dengan malaikat maut, menegangkan-mungkin.

"Aletta, udah sampai kamu?" Eyang Inggar melirik ke arahku.

"Sudah, Eyang," jawabku singkat, sambil menundukkan pandangan.

Aku memang baru saja sampai di belakangnya, tentu Mbak Rara juga belum sempat mengetahuinya. Namun, Eyang Inggar tahu lebih dulu kalau aku sudah berada di belakangnya. Aneh 'kan? Memang begitulah keadaannya saat bertemu dengan mereka.

"Hmmm ... duduklah bocah manis!" seru Eyang, menatapku, dengan senyum sumringah.

"Nduk Rara, tolong bikinkan teh hangat dulu untuk Aletta!" lanjutnya sambil mempersilahkanku duduk di hadapannya.

Rasanya sangat aneh ketika berada di hadapan Eyang. Jarang sekali ada siswi yang dipanggil olehnya, apalagi dibuatkan teh. Seperti tamu agung saja. Aku mengulum senyuman, mencoba menetralisir perasaan curiga dan ketakutanku.

Aku masih menunggu Mbak Rara. Tentu saja, dia kan, lagi bikin teh untukku. Sebenarnya bukan teh-nya sih yang aku butuhkan, tapi Mbak Rara. Sayangnya, dia gak juga datang, entah apa yang sebenarnya sudah direncanakan olehnya dan Eyang. Mungkin 'teh' hanya menjadi isyarat agar Mbak Rara meninggalkanku dan Eyang berdua saja.

Aku tahu, banyak mata yang melihat ke arah kami sekarang. Aku bisa melihatnya dari bayangan yang ada di jendela kaca, di seberangku. Rumah Eyang memang dikelilingi dengan kaca. Bangunannya lumayan kecil jika dibandingkan dengan bangunan asrama, tapi bukan berarti sempit. Dan sekarang, aku sedang duduk di selasar rumah kecil Eyang-berhadapan langsung dengan empunya rumah. Menunggu seduhan teh yang tidak kunjung datang.

Orang-orang di sana, termasuk Nurita, pasti sedang was-was. Biasanya Eyang hanya memanggil siswi-siswi yang bermasalah, dan itu sangat jarang. Aku tahu, yang mereka pikirkan mungkin sama dengan yang sedang bergentayangan dalam pikiranku. Untuk apa aku dipanggil? Ya, setidaknya aku sedang duduk di sini, di depan wanita sepuh pendiri asrama yang kutempati, untuk menunggu jawaban darinya.

*Kenalan dulu dengan dua tokohnya*

Asrama Hagers (TERBIT)-Sebagian Bab Dihapus.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang