Pulang

142 23 11
                                    

Co-working space "X1" di daerah selatan Jakarta memang tak pernah sepi pengunjung. Alih-alih dijadikan tempat bekerja, tempat ini juga dijadikan sarana menikmati senja sambil bercengkrama. Terutama bagi para penikmat musik indie yang acap kali terlantun dari speaker X1, juga secangkir kopi pekat sebagai pelengkapnya.

Hilmi duduk di salah satu kursi dekat jendela, menunggu seseorang. Alunan lagu dari Amigdala terdengar begitu menenangkan di telinga Hilmi. Pula ia mengantuk, tapi dipaksanya sang netra untuk tetap terbuka. Menunggu seseorang di waktu siang menjelang sore memang bukan pilihan yang tepat.

Seseorang berkemeja hitam dan lengan yang tergulung sampai siku berjalan menghampiri Hilmi. Ditariknya kursi di depan Hilmi untuk ia duduk.

"Sorry, Ga. Macet banget di pertigaan, motor gue sampe ga bisa gerak." Pria itu duduk dan menaruh tas laptopnya diatas meja. "Udah nunggu lama, Ga?"

Sudut bibir kanan Hilmi terangkat keatas. Dari sekian ribu alasan untuk terlambat datang, terjebak macet sudah jadi hal yang 'biasa'. Bahkan untuk level orang yang naik sepeda seperti Hilmi, terjebak macet itu asupan sehari-hari.

"Baru setengah jam. Kalo lo nambahin setengah jam lagi, gue kasih piring cantik." Hilmi tergelak dengan leluconnya sendiri. Dibukanya laptop yang sejak tadi menganggur di bangku sebelah, menunggu untuk dinyalakan. Hilmi melirik sekilas pada sosok Yohan—koleganya—dan mengernyit heran.

"Han, lo ga mesen kopi dulu? Tumben amat."

Yohan terkekeh pelan. "Prioritas dulu lah, kerjaan. Nanti kalo matahari udah mau tenggelam, baru gue pesen kopi."

"Ck, dasar penikmat senja akut." Yohan hanya tersenyum.

Setelahnya tak ada konversasi lagi. Hilmi sibuk mengulik kedalam laptopnya, sedangkan Yohan mendesain sesuatu di aplikasi Photoshop. Sudah lebih dari lima tahun mereka bekerjasama, bahkan sudah seperti saudara kandung. Berada di usia yang sama membuat mereka berdua punya banyak kesamaan, juga kompak. Hilmi sampai sangsi kalau ia dan Yohan sebenarnya kakak beradik, saking kompaknya mereka.

"Oh iya Ga, sepeda gimana? Aman?" tanya Yohan.

"Aman, tadi gue kesini naik itu."

"Alhamdulillah kalo gitu."

Hilmi menghentikan ketikannya sejenak. "Oh iya, gue jadi pindah besok. Semua barang udah gue serahin ke jasa angkut."

Yohan memusatkan perhatiannya pada Hilmi. "Jadi? Udah nemu tempat yang pas?"

"Udah, tapi ga terlalu besar. Cukuplah buat gue, sama.." Hilmi memberi jeda sejenak, membuat Yohan penasaran.

"Sama siapa?" Yohan mendongak dari balik layar laptopnya, penasaran. "Jangan bilang, lo mau kumpul kebo..?"

"Ya, kumpul kebo... sama kucing gue! Hahaha,"

"Bangsat Aga."


彡彡彡


Janvie pulang kursus dengan wajah tertekuk. Hari ini ia dimarahi habis-habisan oleh guru merajutnya, dan jika ketahuan membolos lebih lama lagi mungkin orangtuanya akan dipanggil. Cukup merepotkan memang, terlebih jika lembaga kursusnya tahu kalau Janvie hanya tinggal berdua dengan neneknya. Di antara semua kabar buruk yang didapat nenek sehari-hari, mendengar Janvie berulah bukan salah satunya. Dan, jangan sampai terjadi.

Tatapan mata Janvie jatuh pada trotoar yang menjadi tumpuan halte, pikirannya melayang—mencari ide untuk mendapatkan uang rasanya lebih realistis.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

huJAN ft.gyulmini [DISKONTINU]Where stories live. Discover now