Seperti Inilah Aku

114 5 0
                                    

  Malam itu tak ada hujan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


  Malam itu tak ada hujan. Langit malam itu sangat cerah. Bintang gemintang menghiasi langit, membuat bulan separuh itu tampak anggun bertengger di atas sana.

  Wanita paruh baya itu kini tersenyum rapuh memandang ke atas langit. Disana dia sedang menunggu pagi datang. Di pangkuannya, buku harian itu sudah terbuka. Persis di halaman pertama buku harian. Tulisan di buku harian itu tak banyak, tapi juga tak sedikit. Tulisannya tertulis secara acak. Tak beraturan. Mungkin karena itu halaman pertamanya. Dan mungkin juga dia masih bingung harus memulai menulis darimana tentang kehidupannya. Matanya memandang ke atas langit sambil seperti sedang membayangkan kembali kejadian yang ada di halaman pertama buku harian itu.

***

   Hari itu Za mulai sekolah di salah satu sekolah ternama, terfaforit dan pastinya mahal. Sekolah menengah pertama. Kakek-nya selalu ingin yang terbaik untuk Za. Semua harus yang sempurna. Mahal tak jadi masalah, karena uang bukanlah masalah bagi kakek-nya.

  Sebelumnya-pun, Za sudah sekolah di sekolah dasar yang elite. Mahal. Za juga sangat pintar dalam pelajaran. Materi maupun praktek. Dia amat pandai, teramat pandai malah. Saat masih di sekolah dasar, Za dua kali loncat kelas saking pandai-nya. Gurunya tak mampu lagi membimbing Za karena terlalu pandai.

    Tapi Za tak sepandai itu dalam mencari teman. Za selalu sendirian sejak kecil. Dia tak pandai berteman. Tak sepandai dalam pelajaran sekolahnya. Za sangat tertutup tentang kehidupannya. Dia tak banyak bicara tentang hidupnya. Meski semua orang tahu, bahwa Za adalah cucu satu-satunya dari pemilik semua bisnis yang paling terkenal di jagat ini. Bisnis properti, bisnis tambang, bisnis segala bisnis. Dan pastinya akan sangat mudah bagi Za untuk mendapatkan banyak teman dengan semua yang dimilikinya. Tapi sayangnya, pada kenyataanya tidaklah semudah itu bagi Za.

   Za mempunyai mobil dan supir sendiri. Di rumahnya dia benar-benar seperti puteri. Karena memang satu-satunya puteri di rumah itu. Dia bisa memerintah ini itu sesuka hati tanpa takut akan dimarahi. Bisa memecat sesuka hati tanpa takut disalahkan. Tapi Za tidak seperti itu.

  Za sangat amat pendiam. Tak suka banyak bicara. Hanya mengangguk jika setuju, dan menggeleng jika tak setuju. Tak pernah membantah apapun itu perintah kakek-nya. Za sering sendirian sejak kecil. Karena kakeknya jarang ada di rumah. Bisnis kakeknya terlalu banyak. Dan itu membuat kakeknya sangat sibuk.

  "Kita jadi jalan-jalan hari ini kan kek?" tanya Za yang saat pagi itu sudah cantik dengan gaun merah muda, wajahnya sangat sumbringah dan rambutnya juga sudah di kepang bak seorang puteri cilik.

  "Tidak bisa Za. Kakek ada urusan. Kamu jalan-jalan sama bibi ya sayang." jawab kakek dengan terburu-buru dan pergi meninggalkan Za kecil yang menatapnya dengan sedih. Dan selalu seperti itu. Selalu.

  Sebenarnya ketika masih kecil Za amat sangat periang. Selalu tertawa dan bahagia. Tapi setelah dia selalu mendapatkan jawaban tidak dari kakek-nya, Za berubah. Za tidak banyak meminta. Tidak banyak bicara, dan tidak membantah lagi. Dia terlanjur kecewa, terlanjur sedih dan selalu berkecil hati.

   Za selalu bilang, dia tak perlu teman. Dia bisa sendirian.

***

   "Non Za, pak amir sudah menyiapkan mobilnya. Non bisa berangkat sekolah. Baik-baik ya non." ucap salah satu bibi yang bekerja di rumah Za.

   Za hanya mengangguk, dan kemudian pergi melangkah masuk kedalam mobil. Sepanjang jalan Za hanya diam. Selalu seperti itu. Hanya melihat ke arah luar kaca mobil. Melihat jalanan, gedung-gedung yang tinggi menjulang, anak-anak seumurannya yang sedang berjalan kaki menuju sekolah masing-masing. Za hanya bisa menjadi pemerhati. Hanya bisa memperhatikan dari balik kaca mobilnya.

  Selalu seperti itu, setiap hari. Dan tak pernah lelah. Di sekolah, Za juga sendirian. Dia tak punya teman. Lebih tepatnya dia tak mau punya teman. Dia hanya ingin sendirian. Selalu. Tak ada yang berani membantahnya di kelas. Sekali Za bilang tidak, maka itu berarti tidak. Sekali jangan maka jangan pernah lakukan.

   Za anak baik, tapi wajahnya tak seperti anak baik. Dia mempunyai wajah yang terlihat garang, ganas, galak, judes. Bahkan wajahnya terlihat seperti wajah yang tak pernah peduli pada orang lain. Tapi jauh didalam hatinya, dia seperti malaikat. Selalu membantu tanpa perlu orang yang dibantunya itu tahu. Za itu anak yang ringan tangan, suka membantu sesama.

   Tapi wajahnya benar-benar tak memperlihatkan kebaikan itu. Lonceng istirahat pertama sudah berbunyi. Za pergi keluar sekolah  berjalan di trotoar halaman sekolahnya. Dia tidak jajan ke kantin. Dia sedang tidak lapar. Dia hanya ingin jalan sendirian diluar sekolah. Sendirian. Hanya sendiran.

   "Boleh minta gak bang?" tanya seorang bocah laki-laki dengan penuh harap di sebrang trotoar tempat Za berdiri.

  "Kalo mau ya beli dong.  Kalo cuma mau minta, mendingan Pergi sanah. Pergi jauh-jauh." usir pedagangnya dengan memasang wajah yang sangat galak.

  Bocah laki-laki itu hanya menatap sambil memegang perutnya. Sepertinya dia kelaparan. Mulutnya bergerak-gerak seperti sedang menyicip makanan. Dia tak pergi dari tempatnya berdiri. Dia tetap berdiri disana, melihat anak-anak yang berseragam itu mengerumuni si abang penjual dagangan itu.

  Anak laki-laki itu adalah anak jalanan yang sering hilir mudik berlalu lalang di depan sekolah. Za menatap anak itu sambil memiringkan kepalanya. Kemudian Za berjalan mendekat dan membeli banyak makanan juga minuman yang kemudian diberikan pada anak jalanan itu, yang usianya sepertinya seumuran dengan Za, berumur sebelas tahun.

   Bocah itu menatap Za dengan tatapan penuh keheranan. Dia hanya terpana melihat si judes Za yang sudah memberinya sekantong penuh makanan. Tak ada senyum dan tak ada kata yang terucap dari mulut Za. Selalu bersikap dingin. Setelah menyerahkan sekantong makanan dan minuman itu, Za kemudian berlalu pergi. Dia kembali kedalam sekolahnya tanpa melihat lagi bocah itu.

  "Kamu ngapain memberi makanan sama gembel Za?" tanya salah seorang temannya yang saat itu berada di halaman sekolah juga.

   Za hanya menatapnya. Tak menjawab, tak berkomentar. Bibirnya tertutup rapat dan pergi berlalu begitu saja dari hadapannya. Meninggalkan temannya yang menjadi sebal pada perlakuan Za terhadapnya.

**********

Buku Harian ZahwaWhere stories live. Discover now