1. ORANG KETIGA

5K 158 3
                                    


Apa yang lebih menyakitkan dari poligami? Madu atau perasaan tak ikhlas berbagi? Bukan. Bahkan ada yang lebih menyakitkan dari semua itu. Dan inilah kisahku.

Aku berjalan ke dapur. Memencet saklar lampu dapur. Membuka pintu dan segera menuju kamar mandi. Kuambil wudu di bawah keran khusus wudu, lalu keluar.

Di ruang keluarga, berpapasan dengan mereka, suami dan adik maduku, Nina. Wajah mereka nampak kusut dan kelelahan. Berdua tersenyum-senyum nakal saling menggoda dengan mesra.

Cemburu? Tidak. Aku tak cemburu. Rasa itu telah lenyap berganti dengan kekecewaan dan penyesalan. Bahkan jauh sebelum Nina datang ke dalam kehidupan kami berdua.

Nina, gadis kampung sebelah. Usianya baru menginjak dua puluh satu tahun. Dia bekerja di toko suamiku sejak dua tahun lalu. Tak banyak yang kutahu tentang Nina sebelum dia menikah dengan Mas Yoga, suamiku. Hanya sesekali saja aku bertemu dengannya, itupun saat diriku pergi ke toko untuk keperluan yang sangat mendesak.

Suamiku adalah bungsu dari dua bersaudara. Dia pemilik sebuah toserba dengan lima orang karyawan. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan termasuk Nina.

Entah bagaimana kronologinya, sehingga Nina bisa hamil di luar nikah dengan suamiku. Mungkin karena penolakan-penolakan dariku untuk melayani Mas Yoga, sehingga menjadikan pria berwajah manis itu mencari kehangatan lain di luar sana. Dan aku, punya alasan untuk menolak inginnya.

Ketika menerima kabar bahwa suamiku akan menikahi gadis yang lebih cantik dariku itu, aku terkejut memang. Terlebih saat dia mengatakan bahwa wanita berwajah manis dan imut tersebut tengah hamil lima minggu. Sebuah kabar yang ku yakin, tak ada satupun manusia yang bergelar istri bisa menerimanya. Shock, itulah hal pertama yang kurasakan ketika mendengar kabar tersebut.

Hatiku panas, hancur, remuk dan kecewa. Marah? Iya, tentu saja aku marah. Ingin rasanya mencakar muka suamiku. Mengumpat gadis yang keceriaannya selalu menular itu dengan kata-kata kotor. Tapi tak kulakukan. Sebab, sebelumnya Mas Yoga memang sering melakukannya dengan perempuan lain, meski tak sampai hamil, bahkan sebelum kami menikah. Kemarahan adalah hal yang sia-sia jika kulakukan. Dan lagi, amukan hanya akan merendahkan diriku sendiri. Aku tidak mau terlihat hina. Berusaha tegar, setidaknya untuk menghargai diriku sendiri.

Nina gadis yang manis. Selama tinggal bersama satu atap denganku sikap manjanya mengingatkan pada adikku. Hanya saja ada beberapa sifatnya yang tidak kusukai. Tentu saja siapa pun tak akan serta merta menerima kehadiran seorang madu. Terlebih dengan sikap manja berlebihan yang dipunyai oleh Nina.

Hendak masuk ke kamar untuk melaksanakan salat tahajjud, saat Mas Yoga menggenggam erat lenganku yang terbungkus daster lengan panjang. Tatapannya begitu lembut, senyumnya begitu manis. Dia menggangguk. Kubalas dengan senyuman getir. Hambar. Seperti rasa yang selalu berkecamuk dalam hati.

"Aku ijin salat dulu, Mas." Kulepas genggamannya pada lenganku yang terbungkus kain daster panjang.

Perlahan dilepaskan genggamannya pada lenganku. Berjalan ku menuju kamar. Menutup pintu dan mengambil mukenah di pojok ruangan. Kugelar sajadah. Memakai mukenah, lalu salat.

Usai salam, air mataku tumpah. Dadaku kian sesak, pundak berguncang-guncang menahan isak. Terbayang kenangan akan janji manis pria bermata bulat itu. Janji setia dan senyum manisnya yang selalu membuatku mabuk kepayang. Tatapan mesra dan teduhnya yang penuh cinta saat menyatakan cintanya padaku. Siang malam tak pernah berhenti merayu. Suara tegasnya yang selalu menjadi pengantar tidur meski hanya lewat handphone.

Setiap hari dan setiap saat diriku menjadi sosok perindu lelaki bernama Yoga Ananda. Pemuja cinta dan kasih sayangnya. Pemabuk belaian lembutnya. Semua yang ia berikan membuatku lupa bahwa cinta juga butuh realita.

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang