Terlambat

27 1 0
                                    


Langit cerah dihari senin pagi, harapan dari sekian juta umat manusia yang tidak terpenuhi. Hujan, kenapa tak turun membasahi? Jika bisa turunlah disetiap hari senin, jadikan itu rutinitas wajib.

Bayangkan saja, manusia mana yang menyukai hari senin? Dimana semua kepadatan rutinitas dimulai pada hari itu. aku bahkan tidak bisa menikmati sarapanku dengan tenang karena terburu-buru mengejar waktu.

"Mama, putri berangkat dulu" Aku mengecup singkat kedua pipi wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku kemudian dengan kecepatan seribu langkah aku berlari keluar halaman menuju sepeda pink yang terparkir manis disana. "Huft," Aku menghela nafas berat, jika bukan karena kesiangan aku tak akan memakai sepeda dengan warna yang menurutku terlalu mencolok mata.

Meskipun menggurutu aku tetap mengkayuh sepeda dengan kecepatan yang setara dengan pembalap Rossi ketika berlari. Setidaknya aku sudah berusaha, soal cepat atau tidak larinya Rossi nanti akan dibuktikan melalui google.

"Pak, tunggu sebentar" Aku kehabisan nafas saat sampai didepan gerbang sekolah, "saya masih boleh masuk?" Tanyaku masih dengan nafas terengah-engah, jika saja aku remaja gadis lainnya tentu pasti pingsan ditengah jalan lima belas menit yang lalu.

"Duh, tapikan neng telat jadi...." Pak Syam hendak menutup pagar, lekas-lekas kutahan. "Neng, hati-hati. Untung tangannya gak kejepit" Kaget pak Syam

"Pak, ini pertama dan terakhir kalinya. Masa gak ada toleransi?" Aku mencoba negosiasi bahkan sampai menunjukkan ekspresi memelas.

"Ya sudah, neng boleh masuk."

"Nah,gitu dong pak." Aku cengengesan kemudian mendorong sepedaku hendak masuk,"Loh, kok ditahan pak?" aku spontan mundur beberapa langkah saat tangan pak Syam menahan stang sepedaku.

"Sebelumnya isi dulu daftar terlambat neng" Pak Syam memperingatkan

Aku menggaruk tengkukku tak gatal. Ah, lepas dari mulut buaya masuk pula mulut harimau. Lepas dari pak Syam berurusan pula dengan guru BP yang galaknya terkenal sampai lurah sebelah.

"Dihukum aja deh pak, asal jangan isi daftar terlambat." Rengekku tak tau malu,udah dikasih paha minta jantung pula. Dasar aku, " saya kasih uang kopi, gimana?" aku mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan lima ribu dari sakuku.

"Neng, mau nyuap?" Kumis pak Syam naik-turun membuatku pias seketika. Mampus, ternyata pak Syam gak bisa disogok.

"Saya gak mau nyuap bapak, lihat tangan saya kosong. Gak ada nasinya kan?" Aku mengulurkan tanganku kedepan,

"Iya juga sih neng"

"Nah, daripada bingung ini uang buat bapak beli kopi. Tapi dengan satu syarat" Aku memainkan alisku, "Bapak, pahamkan? Saya kasih uang kopi buat bapak asal saya tidak mengisi daftar terlambat dan bebas hukuman." Aku memasukkan lembaran uang itu kedalam kantong pak Syam kemudian pergi meninggalkan pak syam sebelum berubah pikiran.

"Eh, neng!" Teriak pak syam

"Aduh, apa lagi sih pak? Uang kopinya kurang? Nanti pulang sekolah saya tambahi deh, janji." Janjiku, kemudian berlari menyusuri koridor

"Itu sepedanya jangan asal parkir neng!" Teriak pak syam namun tak kuindahkan.

Disepanjang koridor hanya gema dari derap sepatuku yang terdengar, sekolah ini terasa menjadi rumah berhantu dengan hawa aneh yang tidak seperti biasanya. Aku nyaris kehilangan asupan oksigen karena terlalu lelah berlari.

"Eh, Pagi buk." Aku nyaris menabrak ibu Diana, guru mandarin bertubuh mungil. Tingginya hanya sebahuku, kurasa bukan karena tubuhnya yang mungil tapi tinggiku yang diatas rata-rata tinggi wanita indonesia. Untung saja aku bisa mengendalikan laju kakiku jika tidak, bisa-bisa guru bertubuh mungil ini jatuh mencium lantai.

"Kebetulan ada kamu disini Putri, tolong ambilkan buku yang bersampul merah diatas meja lalu antarkan ke kelas 12 IPS 3." Titah ibu Diana kemudian melenggang meninggalkan aku yang terperangah.

Rasanya aku ingin berteriak, kakiku rasanya sudah ingin putus karena harus menempuh jarak kiloanmeter dari rumah kesekolah kemudian berlari disepanjang koridor yang panjangnya menyerupai rel kereta api lalu sekarang aku diminta untuk pergi kekelas 12 IPS 3 yang ada dilantai atas. "Ah, kenapa hidup ini tidak adil?" Ucapku dramatis meniru film-film yang kutonton belakangan ini.

"Kalau mau drama jangan disekolah!"

"Bapak?!" Aku kaget bukan kepalang saat melihat guru BP yang terkenal killer ini berada dibelakangku dengan tongkat andalannya, "Eh, maaf pak saya buru-buru ditunggu sama ibu Diana soalnya." Kelahku bersiap siap mengambil ancang-ancang kabur

"Mau kemana?" Intonasi suara itu tak pernah berubah, selalu saja datar. Tapi anehnya aku selalu kaget jika mendengarnya.

"Mau kabur pak." Ucapku spontan. Ah, dasar mulutku ini lainkali harus dibelikan penyaring terlebih dahulu. "Ralat, maksudanya kedewan guru pak." Aku meringis merutuki kebodohanku

"Kamu..." Mata itu menelisik dari atas sampai keujung kaki seolah menyelediki seoarang penjahat kelas kakap.

"Saya tahu kok hari ini saya cantiknya kurang maksimal, tadi dijalan make up saya luntur." Mulutku tidak bisa diam berkomentar, "Bapak juga tampan kok hari ini, mirip lee min hoo." Aku menepuk keningku menyadari betapa bodohnya aku menawarkan diri menjadi santapan singa.

"Kamu siswi yang terlambat tadi, bukan? Lalu menyuap satpam penjaga gerbang sekolah!"

"Bukan, pak! Maaf saya permisi dulu soalnya sudah ditunggu oleh ibu diana." Aku memotong percakapan sebelum merambah kemana-mana dan memojokkanku

"Ya sudah, kamu temui ibu diana selepas itu temui saya diruangan saya." Ucapnya penuh penekanan disetiap kata

"I-ya" Aku tergagu menatap kepergiannya, "Tamatlah aku!" Aku meringis lalu menoyor kepalaku sendiri saking kesalnya.

******

Halo teman-teman readers, jangan lupa vote dan kritik kalian. :)

Karena itu adalah obat penyemangat bagi unna :*

I'm ProblemsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora