Judul Novel Pemicu Listrik Padam

97 7 3
                                    

Meski Happy tak peduli, namun lihat Vincente. Memandang Happy memasuki kelas, membuat Vincente agak lega. Dengan kaki yang masih bergetar, dia terduduk di lantai kemudian menyeret diri menuju kelas, karena kaki ini masih terkejut menyadari tatapan Happy mengarah padanya. Tak pernah sekali pun Vincente mendapat pandangan dari seluruh siswa-siswi di kelas 10 IPA 1. Baru kali ini, ini yang pertama kalinya, dan ini pandangan yang sangat istimewa. Pertama kali dia dipandang oleh siswi kelas 10 IPA 1 dan dia adalah siswi yang telah merebut perhatian seorang Vincente.

"Bunda, tolong," gumamnya.

"Ngapain, Vincente?" suara itu tiba-tiba menusuk di telinga Vincente. Segera dia berdiri melihat pemilik suara.

Tepat di belakangnya, berdiri seorang guru olahraga yang mengenakan kaus jersey dan celana training. Vincente memasang wajah tersenyum seakan tak ada apa pun yang terjadi. "Itu, Pak Ardi," Vincente mencari alasan. "Tadi nemu gopek di lantai. Saya ambil buat disumbangin ke kotak amal pas istirahat."

"Saya kira apaan. Semangat belajar, Vincente! Biar cita-cita kamu membahagiakan dia tercapai. Ya, emang sih, bapak gak tau dia yang kamu maksud siapa kemaren." Pak Ardi menggeleng kecil kemudian berlalu dari hadapan Vincente. Meski hampir memalukan diri sendiri, beruntungnya Vincente pandai mengelabui. Ya, Vincente tahu itu tak baik, namun dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa dia ditertawai. Vincente sangat tidak suka ditertawai.

Dia melangkahkan kaki menuju kelas, walau terasa agak berat. Vincente selalu begini tiap kali terjadi suatu hal yang tak pernah terjadi. Seperti dipandang oleh Happy. Vincente tak peduli bila Happy mengejek, merendahkan, dan menertawai dirinya. Ada rasa bahagia ketika melihat senyum serta tawa manis gadis ini, meski kebahagiaan itu tercampur dengan rasa sakit dari kata 'tersinggung'. Sebisa mungkin dia tidak menampakkan rasa ketidaksukaan dan emosi kesal dalam diri, agar tak terjadi hal-hal yang tidak berguna.

Sudahlah, saatnya beralih pada kelas yang sebentar lagi dia masuki. Ketika tangan itu memutar gagang pintu, yang kalian lihat adalah keramaian. Seperti kelas pada umumnya di novel-novel, film-film, dan realita; satu kata untuk kelas ini.

Berisik.

Ada yang sedang menyanyi, menirukan hewan, dan salto. Entah tujuannya apa. Vincente menghampiri meja paling belakang dan menaruh tas pada kursi. Ya, dia duduk di belakang. Dia tak sendiri, dia duduk bersama seorang siswa yang sangat istimewa sekali.

"Vinencinentine, tinumbinen lu dinatinengnyina tinelinat?." tanya siswa itu yang sedang duduk santai dengan ponsel di tangan. Inilah keistimewaan sang siswa. Dia memakai bahasa yang sama sekali tak dimengerti orang lain, selain Vincente. Katanya sih Bahasa Cibinong. Vincente memperlihatkan deretan giginya sembari cengegesan tidak jelas. "Gak ada apa-apa, cuma macet aja tadi," jawab siswa bertubuh gempal ini. "Lagian, tumben lu dateng lebih dulu dari gua, Somat. Biasanya pas pelajaran ketiga, baru lu masuk kelas. Pasti karena sekarang pelajaran Rika-sensei, 'ya!"

Teman sebangku Vincente, Somat, memang menunggu kedatangan guru yang biasa dipanggil Rika-sensei; terlihat jelas dari gerakan Somat yang malu-malu tikus—ya, tikus, karena kucing sudah biasa.

Mari berpindah sisi ke bagian depan. Di sebuah bangku, terduduk seorang siswi dengan novel bersampul merah muda. Dia cekikian dan tersenyum sendiri menikmati tiap barisan kalimat dan majas, yang diukir sedemikian rupa oleh sang pengarang. Terkadang dia tertawa, kesal, cemberut, bahkan hampir menangis. Mungkin itu efek dari novel yang dia baca ini. Bisa dibilang dia terlalu terbawa suasana alur cerita. Alur cerita apa pun, dapat dia selami sangat dalam. Bahkan dia pernah tertawa terbahak-bahak hanya karena membaca komik di koran, padahal komik itu bergenre horor yang tidak ada humornya sama sekali. Entah apa yang dia pikiran saat itu.

Gendut!Where stories live. Discover now