Love at The First Cup

504 43 2
                                    

Seoul, awal 2014

Kalau tadi aku tidak menuruti kemauan Kim Seokjin, aku tidak akan bertemu dengannya.

"Memangnya kau beli apa sih, Hyung? Kenapa aku harus mengantarnya langsung padamu hari ini juga?"

Seokjin berada di kafenya, duduk di sudut ruangan sambil mengamati orang-orang yang masuk. Dia tidak sekadar mengamati. Seokjin kadang menghitung jumlah orang masuk dan keluar, kemudian membuat analisa tingkah laku pengunjung serta perbandingan akan laba kafenya. Entah benar, entah tidak. Aku hanya mendengarnya dari Jungkook, barista paling muda yang kadang ucapannya juga tidak bisa kupercaya karena ia terlalu banyak bergaul dengan Seokjin.

"Kau tidak memesan majalah dewasa seperti yang anak-anak di kampusku beli kan? Gila, wabah itu sudah menular padamu?" komentarku.

"Sembarangan kau! Aku tidak sebejat itu. Ini adalah ka..."

"Hyung, kau harus mencoba menu yang kuracik ini. Bahan dasarnya teh, dan jika ini enak, artinya kita sepakat untuk memasukkan menu teh di kafemu. Aku tidak mau tahu. Kau harus bersikap adil pada penikmat teh!"

Seorang laki-laki dengan rambut cokelat gelap yang sedikit panjang—sedikit lagi rambut anak itu akan menutupi matanya—menahan kalimat Seokjin sambil menyodorkan secangkir teh di hadapannya. Aroma melati menguar dari cangkir, bercampur dengan aroma krimer yang manis.

"Biarkan Yoongi mencobanya. Dia akan menilai lebih netral daripada diriku. Kalau Yoongi menyukai minuman ini, kau boleh menambahkan menu sesukamu."

Aku sama sekali tidak menyangka Seokjin akan mengatakan itu padaku. Sejak dulu, dia tahu aku tidak pernah minum teh. Maksudku, bukan benar-benar tidak pernah. Teh hanya tidak lebih baik dari kopi. Aku menyukai kopi, jadi untuk apa aku mencoba sesuatu yang tidak lebih baik dari itu? Sejak tadi, laki-laki di depanku itu masih melipat tangannya. Dia menatapku dan cangkir yang barusan disodorkan Seokjin ke hadapanku.

"Kau tidak serius kan?" Aku bergumam pelan, berharap Seokjin mendengarnya.

Ya, dia mendengar dengan jelas dan memberi isyarat mata agar aku meminumnya. Aku dijadikan tumbal.

"Ssst! Hyung, orang ini terlalu lama. Minumannya tidak akan enak jika dinikmati ketika sudah dingin. Aku tidak akan meracunimu, Sunbaenim. Lihat, Jungkook dan Namjoon Hyung sudah meminumnya lebih dulu di sana!"

"Adikku tidak mungkin meracunimu, Yoongi-ya." Seokjin dengan santai menyesap kopi di gelasnya, seolah tidak ada hal yang salah. Seolah-olah dia tidak sedang menjadikanku tumbal dengan sengaja.

Aku menyerah. Kalau aku mencicipi minuman itu, tentu saja itu karena anak laki-laki di depanku itu yang memberikannya. Adik Seokjin, seperti yang barusan dia  bilang. Ada aroma melati menguar, kemudian terhidu olehku. Hangat. Tidak panas dengan asap mengepul seperti saat tadi anak itu membawanya. Rasanya begitu lembut. Sepertinya pengaruh krimer. Wangi tehnya kuat, tetapi rasanya menyenangkan.

"Aku menambahkan sedikit bubuk kayu manis, jika kau bisa menangkap hint itu," ujarnya dengan mata berbinar.

Aku belum pernah melihat seseorang menatapku seperti itu. Penuh harap dan kilatan ambisi yang dibalut dengan lembut.

"Bagaimana menurutmu?"

Aku berhenti sejenak untuk menimbang kata-kata yang perlu kuucapkan untuk membentuk sebuah pujian manis. "Menurutku ini sempurna."

"A-apa? Kau serius? Hyung! Hyung, dengar? Dia bilang ini sempurna!" Laki-laki itu berlompatan di tempat. Kegembiraan yang diekspresikan pada tempat dan waktu yang tidak sesuai.

"Kenapa kau katakan itu pada Taehyung?" Seokjin berbisik cepat padaku kemudian mengerutkan keningnya. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?

"Aku hanya bersikap netral. Katamu tadi aku adalah orang yang paling mudah untuk melakukan ini karena aku netral?"

"Bagaimana rasanya?" Taehyung bertanya sekali lagi, membuat Seokjin dan aku berhenti bertengkar sejenak.

"Aku suka rasa manis yang pas, teh yang tidak terlalu kuat. Untuk ukuran penyuka kopi sepertiku, minuman ini tidak masalah."

"Terima kasih, Sunbaenim. Aku berhutang padamu. Seokjin Hyung, aku akan mengganti menu. Asaaa!" Taehyung mengepalkan tinju dan menggerakkannya di udara. Dia tertawa keras, memamerkan senyum kotak sambil berlari menuju arah bar untuk kembali bersama Jungkook dan Namjoon. Mereka terlihat senang. Taehyung terlihat yang paling senang, tentu saja. Dan kemudian, Seokjin membuyarkan apa yang sedang kupikirkan.

"Aku tahu kau tidak serius mengatakannya. Sialan kau, Min Yoongi."

Aku tertawa kecil. Seokjin jelas tahu, testimoni itu bukan semata karena teh krimer kayu manis yang barusan kuminum. Semuanya karena Taehyung. Buatan Taehyung dan kurasa memulainya dengan secangkir teh tidak akan jadi masalah.

*

Seoul, akhir 2019

"Jadi, apa yang membuatmu mengingat orang itu sampai-sampai kau membuat lagu-lagu untuknya?"

Apa ya? Aku paling tidak suka disuruh menjelaskan ini itu soal dirinya. Karena kata-kata tidak pernah bisa mewakili apa yang aku rasakan ketika ia datang. Kadang kata-kataku terdengar tidak tulus, sombong, menyebalkan, atau apalah itu. Makanya aku tidak suka menjelaskan tentang apa yang kurasakan.

"Senyum kotaknya. Perumpamaannya, kau mengalami mimpi buruk semalaman, ketika bangun dan membuka gorden, kau menemukan matahari terbit dan itu membuatmu tersenyum. Kau akan berpikir 'ah, ternyata aku masih hidup.' Begitulah kehadirannya untukku."

Apa aku sudah membuat perumpamaan yang indah untuk dirinya? Karena aku akan mengutuk diriku jika perumpamannya jelek. Taehyung tidak pantas disandingkan dengan hal-hal buruk. Tidak sekali pun pantas.

"Aku bisa melihat, kau sangat merindukannya."

"Kau seperti cenayang," sahutku.

Pembawa acara itu memang lebih terlihat seperti cenayang. Meskipun apa yang dikatakannya benar. Aku hanya tidak bisa mengakuinya terang-terangan. Karena apa yang pernah kulakukan padanya mungkin sudah membuatnya benar-benar tersiksa.

"Apa menurutmu penggemarmu tidak akan cemburu pada seseorang spesial itu? Mereka pasti sangat penasaran, bukan?"

"Jika mereka menyukaiku karena musikku, mereka akan mendukungku. Mereka akan tahu bahwa sumber dari nyaris semua lagu yang mereka suka berasal dari orang yang sama. Lagipula, seorang musisi juga manusia, bukan? Kalau begitu, mengapa aku tidak bisa mendapat hak yang sama dengan orang-orang lainnya? Bukankah itu aneh?"

Kalimat itu, jika saja aku mengucapkannya dua tahun lalu, mungkin tidak akan seperti ini ceritanya. Mungkin, tidak akan ada album yang begitu gelap dari seorang Min Yoongi. Lalu, kata-kataku sekarang, apa bisa memperbaiki semuanya? []

*

[author's note]
halo semuanya! aku kembali. mohon maaf sebesar-besarnya karena aku belum bisa melanjutkan Moonglade. aku kehilangan mood menulis Moonglade saat menulis naskah lain. aku tetap akan berusaha buat kelarin Moonglade.
sementara itu, ayo baca COFFEE-TEA-VITY. cerita taegi ini akan terbagi jadi 4 chapter singkat. selamat membaca! :)

coffee-tea-vity • supvWhere stories live. Discover now