CHAPTER 12

19.2K 2.3K 151
                                    

Sekitar 20 menit Tiara menangis di bilik toilet. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk angka dua belas lebih sepuluh menit. Sebentar lagi jam istirahatnya usai dan dia belum menunaikan ibadah sholat dzuhur. Gadis itu keluar menuju cermin besar yang bersanding dengan wastafel. Ia basuh wajahnya berharap bisa menyamarkan sisa tangis.


"Ya ampun, Ra. Aku cariin dari tadi. Ayo ikut aku."

Tiara yang baru keluar dari toilet langsung disambut oleh Santi yang lantas menarik tangannya. Gadis berpipi tembem itu memaksa Tiara untuk ikut berlari entah ke mana tujuannya.

×

"Ngapain ke sini?" tanya Tiara saat Santi menyeretnya menuju ruang UGD. Unit gawat darurat bukan tempat ia ditugaskan.

"Kamu harus lihat."

Tepat saat Santi selesai berucap, mereka sampai di ruang UGD dan ada sebuah brankar yang keluar. Di atas brankar itu terbaring seorang pria dengan mata terpejam. Ada perban yang memerah di beberapa bagian tubuhnya. Kemeja putihnya juga banyak dipenuhi darah.

Tiara hampir ambruk jika saja tak ditompang oleh Santi. Tubuhnya gemetaran, dia menutup mulutnya tak percaya. Pria itu adalah Raka. Orang yang baru saja ia marahi. Apa yang terjadi? Bukankah pria itu tadi baik-baik saja.

"Habis dari sini tadi kayaknya dia kecelakaan. Kalian ada masalah apa, sih? Udah sama-sama gede 'kan harusnya bisa dibicarain baik-baik. Kayak sinetron aja." cecar Santi yang sebenarnya sok tahu. Ia adalah suster yang ditanyai Raka mengenai keberadaan Tiara tadi. Ia lalu menarik Tiara lagi untuk mengikuti dokter dan perawat yang membawa Raka.

Dari luar jendela kaca ruang ICU, Tiara bisa melihat alat-alat darurat dipasangkan pada tubuh Raka setelah kemejanya yang kotor digunting dan diganti dengan baju pasien. Infus, ventilator, kateter, selang makanan dan yang lainnya semua sudah terpasang. Separah itukah keadaannya hingga alat-alat menyeramkan itu harus digunakan.

Satu tetes airmata Tiara kembali turun tanpa diperintah. Kedipan singkat berhasil membuat airmata itu berdesakan keluar. Dia menangis lagi, entah mengapa hatinya merasa sakit melihat keadaan Raka yang seperti itu.

Santi mengusap-usap punggung Tiara berharap tangis temannya itu mereda. "Kamu mau jenguk dia?" tanyanya lembut.

Tiara menggeleng samar. "Aku mau ke mushola."

×××

Dean terduduk di lantai menyandar pada dinding ruang ICU. Kembali ia teringat perkataannya sebelum Raka pergi tadi. Mati, dia akan mati jika tidak menghadiri rapat. Dean menyesal mengatakan itu.

"Gimana keadaannya?" tanya Arya saat ia baru tiba di rumah sakit. Dia baru dikabari ketika Dean sudah sampai di rumah sakit setelah mengecek lokasi kecelakaan. Di belakangnya, Elyas berlari tergopoh-gopoh.

"Gimana?" tanya pria berkacamata itu.

"Belum sadar." jawab Dean singkat lalu menunduk. Bibirnya bergetar sejalan dengan tetes airmata yang meluncur mulus. "Gue tadi becandain dia. Gue bilang dia bakal mati kalau nggak ikut rapat. Gue nggak tahu kalau kejadiannya bakal kayak gini." sesalnya lagi.

"Bukan salah lo." Arya ikut duduk seperti Dean. "Kita nggak bakalan tahu musibah datangnya kapan."

Elyas yang masih berdiri lalu turut mengangguk. "Kadang cinta butuh pembuktian dan pengorbanan."

Mengikat MutiaraWhere stories live. Discover now