CHAPTER 13

19.4K 2.4K 117
                                    

Gadis berseragam perawat itu menggeleng tak percaya. Ia tak habis pikir dengan wanita dihadapannya ini. Apa memang seperti ini sifat orang kaya? Selalu memaksakan kehendak dengan sebuah ancaman.

"Anda mengancam saya?"

Anggi bergeming, dia tak menyangka jika gadis ini berani bertanya seperti itu. Pantas saja Raka sampai tergila-gila. Gadis ini berbeda dari gadis lain yang akan dengan senang hati menyerahkan jiwa dan raga kepada pria tampan dan mapan macam Raka. "Terserah kamu menyebutnya apa. Tapi saya jamin, kamu pasti tidak bisa menolaknya." Dokter berbadan dua itu bisa melihat siratan pasrah dari wajah ayu Tiara. "Saya juga yakin, kalau sebenarnya kamu sangat khawatir dengan keadaan Raka."

"Anda salah."

"Semakin kamu berusaha membantah, semakin terlihat seberapa pedulinya kamu dengan Raka." Anggi menarik napasnya dalam-dalam sebelum kembali berucap. "Dia butuh kamu. Seharusnya kamu sadar tentang itu. Coba jujur sama hati kamu sendiri."

Tiara terdiam setelah mendengar ucapan Dokter itu. Apa benar begitu? Jika disuruh jujur, dia memang khawatir dengan keadaan Raka. Sangat khawatir malah.

×××

Pagi menyapa saat sang surya menampakkan cahayanya dengan malu-malu disela mendung awan kelabu. Jejak hujan tadi malam masih menggenang di beberapa sisi jalan. Gadis itu merapatkan jaketnya menghalau dingin yang menusuk tulang.

"Tiara."

Tak seperti kemarin yang seperti mayat berjalan, kini pendengaran Tiara berfungsi dengan baik. Dia menoleh ke belakang saat telinganya itu mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Ujung bibirnya sedikit melengkung keatas mendapati Santi yang baru turun dari motor dan membayar ongkos. Gadis berpipi tembem itu lalu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar Tiara menunggunya.

"Gimana?" tanya Santi ketika ia sudah berjalan sejajar dengan Tiara.

"Nggak gimana-gimana." jawab Tiara sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Santi berdecak kesal. "Pacar kamu udah sadar belum?"

Darah Tiara mendidih. Dia tidak suka ditanya begitu. "Dia bukan pacar aku."

Santi kembali berdecak. "Terserah kamu deh. Gimana keadaannya?"

Tiara mempercepat langkahnya hingga membuat Santi lebih cepat mengejarnya.

"Ra." panggil perawat itu lagi. Gadis itu memang suka sekali menuntut jawaban.

"Kenapa kamu nggak lihat aja sendiri?"

"Beneran nih boleh?" tanya Santi lebih kepada untuk menggoda teman sejawatnya itu. "Gimana kalau aku aja yang gantiin kamu ngerawat dia?" tawarannya membuat Tiara sontak berhenti berjalan. Gadis itu menatap pada Santi dengan tatapan seolah bertanya, bagaimana dia bisa tahu? "Di grup udah rame, kamu aja yang nggak nongol."

Semalam Tiara memang tidak mengaktifkan ponselnya. Setelah menghubungi Kinan sebelum Magrib, dia langsung mematikan benda canggih tersebut. Seusai sholat Magrib ia mengaji sampai waktu isya tiba. Setelahnya ia berdoa hingga ia ketiduran diatas sajadah tempatnya mengadu pada sang kuasa. Tiara memang menceritakan sedikit keluh kesahnya pada Kinan, hanya sedikit karena ia tidak mungkin menceritakan semuanya dari awal mengingat bahwa masalah pernikahan sahabatnya itu sendiri saja sudah rumit. Lewat Kinan, hatinya bisa sedikit lega.

Mengikat MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang