PROLOG

46 4 2
                                    

Le Grand Mosquée Paris, Maret 2019

"Pouvez-vous m'aider à utiliser cette écharpe dans ma tête?" [1] tanya perempuan paruh baya berambut pirang, pada gadis berkerudung yang duduk di sisi kiri pintu masuk ruang jamaah perempuan.

Wajah gadis itu sejenak terkejut, lalu buru-buru tersenyum mengambil posisi sejajar di depan perempuan paruh baya.

"Oui, bien sûr, Madame,"  [2] jawabnya, kemudian mengambil scraft dari tangan perempuan yang sepertinya warga asli Perancis.

"D'où venez-vous ma chérie? Comment vous appelez-vouz?" [3]

"Amara, Madame, je viens d'Indonésie," [4] sahut Amara, sambil melipat scraft yang sudah di tangannya jadi segitiga. Lalu perlahan scraft itu diletakkannya di atas kepala perempuan itu.

"Pardonez moi, Madame..." [5]

"Lucie." Perempuan dengan mata biru itu menyebutkan namanya sambil tersenyum.

"Oui Madame Lucie, excusez-moi je touches ta tête," [6] ujar Amara sambil mematut scraft sehingga rambut pirang Nyonya Lucie tertutupi. Karena Amara tidak membawa peniti, ujung scraft itu diikatnya di bawah dagu. Wajah oval itu tersenyum begitu Amara mengatakan selesai. Dia kemudian sedikit bergeser, melihat wajahnya sendiri di cermin yang tergantung di dinding.

"Ah, aku tampak berbeda," ujarnya dengan bahasa Perancis, seperti takjub menatap dirinya. "Tampak lebih muda ya?" meminta pendapat Amara yang langsung mengangguk.

"Madame, vous êtes très belle!"  [7] puji Amara.

"Aku akan memakainya setiap Jumat jika keluar rumah," ujar Nyonya Lucie dengan semangat.

Amara tahu, ini bentuk solidaritas warga non-muslim atas peritiwa teror yang menewaskan 50-an muslim di masjid Al Nuur dan Linwood New Zeland beberapa hari yang lalu. Itu peristiwa paling brutal yang diketahui sepanjang hidup Amara dan Nyonya Lucie.

Amara terus mengikuti beritanya dan selalu meneteskan air mata membaca kisah-kisah kebaikan korban selama hidupnya. Sungguh bukan manusia yang melakukan kekejaman seperti itu. Pascatragedi itu, banyak sekali respon dan aksi simpatik warga New Zeland, dari menjaga masjid saat muslim sholat, meletakkan karangan bunga dan tulisan duka cita di halaman masjid, kumandang azan di Universitas Cristchurch, hingga menggunakan scraft—semacam kerudung—bagi perempuan. Mereka menyebutnya gerakan headscarft harmony setiap Jumat, bahkan hashtag-nya mendunia di medsos. Hal itu dilakukan agar muslim tidak takut ke masjid atau keluar rumah. Amara tak menyangka bahwa gerakan itu akan sampai juga di Grand Mosquee, masjid terbesar di kota Paris ini. Bahkan kabarnya jumlah mualaf semakin bertambah di Australia dan Eropa.

"Merci, Madame [8] , itu sangat menenangkan kami saat keluar rumah. Bagi kami muslimah, jilbab ini suatu kewajiban sekaligus identitas. Kami tak mungkin melepasnya saat keluar rumah," ujar Amara dengan mata berkaca-kaca. Betapa di saat-saat seperti ini, humanisme menjadi hidup dan mewujud harmoni. Tak peduli apa agama dan negaranya, kita sama-sama manusia yang butuh rasa aman dan ketenangan.

Madame Lucie menyentuh pipi Amara dengan kedua telapak tangannya yang keriput. Dia menatap tajam sepasang mata Amara.

"Aku tahu, Sayang. Tetaplah dalam keyakinan itu, kami sangat menghormatinya. Teroris itu tidak beragama. Justru kejadian di Cristchurch kemarin menunjukkan bahwa muslim bukan teroris."

Amara mengangguk sambil tersenyum. Ada buncah bahagia di sudut hatinya atas penerimaan.

Lalu beberapa perempuan masuk masjid dan minta dibantu mengenakan scraft juga. Ruang jamaah perempuan itu kini jadi ramai dengan obrolan mereka seputar peristiwa Cristchurch. Rata-rata mereka menceritakan kebaikan-kebaikan korban, sebagian mengabarkan korban yang selamat. Madame Lucie melirik Amara saat menyebut korban selamat dari Indonesia, seorang ayah dan anaknya yang masih lima tahun, yang kini sedang masa perawatan di rumah sakit.

Suara riuh mereka terhenti saat mikrophone masjid mengumumkan ada beberapa orang yang akan mengucap kalimat syahadat siang ini. Masya Allah, bibir Amara beberapa kali memuji kebesaran Allah.

Darah-darah syuhada yang tertumpah di masjid itu akan tergantikan dengan jumlah yang jauh lebih banyak lagi. Insya Allah. Di benua Eropa ini, setelah hampir empat tahun menimba ilmu di Paris dengan segala peristiwa yang mendeskriminasikannya sebagai muslimah berjilbab, Amara merasakan semangat berislam itu begitu membara.

Maka dalam sujud sholat dhuhurnya siang itu, Amara berurai air mata dalam kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia atas tertepisnya bahwa muslim adalah teroris, sekaligus sedih membayangkan keluarga korban yang tiba-tiba ditinggalkan orang tercinta.

Usai berdoa, Amara mengambil ponsel dari dalam tasnya. Suasana masjid telah sepi sebab perempuan-perempuan non-muslim yang di dalam ruangan telah keluar saat shalat akan dimulai tadi. Hanya beberapa muslimah yang masih tinggal. Sebagian membaca Alquran.

Amara menimang-nimang ponselnya. Setelah mengabarkan kelulusannya pada Jeanne dan teman-teman di Maison d'Indonésie [9] , ada satu pesan lagi yang belum dibalasnya

Pesan dari seseorang yang menawarkan niat baiknya menggenapkan setengah agamanya sebulan lalu sebelum Amara ujian. Diucapkan di tepi Sungai Seine, saat salju mulai mencair sebab musim dingin yang akan berakhir.

Jembatan Pont de l'Archevêché di atas Sungai Seine yang penuh dengan gembok cinta dan tulisan-tulisannya itu seakan menjadi saksi, bahwa cinta itu nyata ada dan harus dipertemukan. Ribuan orang yang menautkan gemboknya di sana dan membuang kuncinya ke dalam sungai, berharap bahwa cinta itu terus menyatu, tak terpisahkan. Kukuh, sekukuh empat kaki Eiffel yang terlihat gagah dari tepi Sungai Seine, meski dingin dan salju mengguyur seluruh tubuhnya.

Amara kini menatap pesan dari laki-laki itu dalam ponselnya.

Amara, aku menunggu jawabanmu. Bukankah kau berjanji akan memberikan jawaban setelah proses kelulusanmu selesai.

Amara mendesah pelan. Beban di hatinya semakin berat saat mengingat masa lalu. Ada satu hal yang belum diketahui laki-laki itu tentang dirinya. Satu hal yang dia rahasiakan dari siapapun jua. Satu hal yang membuat seorang perempuan tidak akan sanggup menceritakannya sebab dengan kejujuran itu, cinta yang mulai tumbuh ini bisa saja padam seketika. Amara takut laki-laki itu akan meninggalkannya. Tapi untuk bersama menaiki bahtera rumah tangga, bukankah semua harus dimulai dengan kejujuran? Kejujuran yang meskipun itu menyakitkan.

Diketiknya pesan balasan. Tersendat. Diketik lagi. Dihapus lagi. Diketik lagi.

Amara menghela nafas berat. Sementara itu, angin di masjid Le Grand Mosquée berhembus sejuk di musim semi kali ini.

*****


[1] Bisakah kau membantuku menggunakan scraft ini di kepalaku?

[2] Tentu saja, Nyonya

[3] Kau dari negara mana, sayang? Siapa namamu?

[4] Amara, Nyonya, saya dari Indonesia

[5] Maaf, Nyonya

[6] Iya Nyonya Lucie, maaf saya sedikit menyentuh kepala Anda

[7] Nyonya cantik sekali!

[8] Terima kasih, Nyonya

[9] Rumah Indonesia, semacam rumah tinggal untuk mahasiswa Indonesia di Paris

Salju Sungai SeineWhere stories live. Discover now