9 : Dirty

2.8K 297 0
                                    


Mataku terus basah bercampur perih. Sedangkan dua orang yang juga berada didalam dapur yang sama denganku hanya tertawa senang melihatku menangis kecil sambil mengiris bombai. Mereka terlihat sangat kompak dalam semua hal, tidak heran karena mereka ibu dan anak. Aku tidak menyangka Jimin akan bergabung untuk menyiapkan santapan makan malam.

  
       "Kau masih bisa bertahan, Mina-Yah?" Ibu Jimin bertanya sambil menahan tawa.

Aku mengangguk tegas.
         "Ya, aku bisa." Padahal mataku hampir tidak bisa bertahan dari terus merasa perih. Memalukan sekali, tapi aku bisa apa masakan yang kami siapkan memang harus menggunakan bahan ini dengan takaran yang banyak.

     "Haruskah aku menolongmu?"  Suara Jimin yang menyebalkan malah mencelah."Hidungmu sudah terlalu merah." Sedari tadi dia berdiri disisiku seolah mengawasi tapi, kenyataannya Jimin terus menggesekkan lengan kerasnya pada lenganku.

  Ini menganggu, karena aku hanya mengenakan baju berkain tipis. Sedangkan Jimin, pria itu mengenakan baju abu-abu namun, kain itu hanya membungkus hingga kebahu Jimin, otomatis lengan keras pria itu terekspos. Penampilannya cukup santai dan, jangan lupa senyumnya menyebalkan.
Aku menutup mata sebelah sambil tangan yang masih memegang pisau ku arahkan pada Jimin."Eumm bantu aku."

"Kasar sekali, bukan begitu caranya minta tolong, memohonlah." Jimin menaikkan sebelah kening menyunggingkan  senyum sinis jelas memprovokasi.

Aku hampir menusuk bombai besar yang tersusun dalam bakul tepat didepanku mendengar intruksi Jimin."Me-memohon? Haruskah?"

Ibu Jimin terkekeh kecil sambil mengaduk masakan yang masih mendidih didalam panci mendengar percakapan kami berdua, itu artinya dia cukup percaya jika kami pasangan yang bahagia.

  Tanpa pikir panjang dan demi pertunjukan untuk wanita yang sudah ku anggap ibu.
   "Jimin oppa, bantu aku. Ku mohon"

Pria itu tersenyum jauh lebih lebar dari sebelumnya."Baiklah sayang." Lantas ia mengambil pekerjaanku dan menyuruh agar aku memotong mentimun saja.

Suara alat masakan yang saling bersinggungan juga suara pisau yang beradu dengan papan pemotong bergema saling melengkapkan. Jimin juga tidak berhenti berbisik di tepi telingaku mengatakan aku melakukan tugasku dengan baik.

Sudah menjadi kebiasaanku, menggulung rambut keatas agar angin bisa masuk dan menyejukan leherku. Tapi, aku tidak menyangka kebiasaan ku itu bisa berubah menjadi senjata paling ampuh yang bisa Jimin gunakan untuk menjahiliku.
  "Ibu!" Teriakku tanpa tertahan saat tiupan Jimin mengenai sisi leherku dan itu menggelikan.

   Berengsek. Sialan memang.

    "Ada apa Mina-yah?" Ibu Jimin yang berada di samping meja makan menoleh kearahku.

Mendadak aku berdiri kikuk. Sedangkan Jimin menahan tawa, ia sudah berbalik seolah melakukan tugas yang lain.

   "I-itu tadi ada lipas pria berlarian."

Mendengar kalimat konyol yang ku lontarkan setelah menyimpan hidangan diatas meja, ibu Jimin segera mendekatiku."Hah? Dimana?"

  Ingin ku jawab.'Ini bu, yang di belakangku.'

Aku mengukir senyum paksa.
"Sudah tidak ada," dustaku dengan perasaan jengkel.

   "Ya ibu. Aku melihat lipas pria itu berlari kepojokan lantas menghilang begitu saja, itu tidak menggigit sama sekali tapi Mina berteriak seolah itu menyakitinya." Entah sejak kapan Jimin berbalik dan menjawab seenaknya.

    "Kalian ini, ada-ada saja." Wanita itu menggeleng pelan.

    "Tenanglah Mina-Yah aku tidak mungkin memakanmu disini," bisik Jimin

  "Tenanglah Jim, aku masih memegang pisau jangan membuat aku membunuhmu disini," bisikku kembali dan itu mengundang tawa keras Jimin.

Kami menikmati hidangan dengan suasana yang damai, beberapa kali ibu Jimin menyuapiku dan itu membuat anak prianya mempoutkan bibir cemburu seolah tidak terima jika aku mengambil perhatian ibunya.  

Aku baru tahu ternyata, Jimin juga punya sikap yang seperti ini, cemburuan.

  
  ****

       "Selamat malam Cha!" Sapa Chan ceria sambil memamerkan senyum terbaiknya. Pria ini menghubungiku lewat panggilan video dengan begitu, aku bisa melihat memar diujung bibirnya.

Aku menyentuh layar ponsel dengan ibu jari."Chan, kau terlihat mengerikan." Jelas aku kaget, ku kira Chan cuma lecet sedikit tapi kenyataannya banyak. "Berapa pukulan yang kau terima?" Tanya ku dengan berani karena saat ini aku berada didalam kamar Jimin, demi memenuhi peran istri terbaik dihadapan ibunya.

  "Hm. Kau benar, dia memukulku tanpa ampun." Chan mengelus goresan diatas hidungnya dia mengeluh berat."Jauhi dia Mina-yah dia itu perusak keindahan."

Mendadak aku merasa bersalah.
  "Chan maafkan aku."

"Kau tidak perlu meminta maaf, ini bukan salahmu."

  Aku mendekatkan ponselku.
  "Semoga cepat sembuh Chan."

Setelah itu, entah bagaimana ponsel yang ku pegang terlempar mengenai dinding kamar.
Menciptakan bunyi retak yang mengilukan. Cash juga berhamburan di lantai.
Aku bangkit dengan tubuh yang bergetar, berjalan meraih ponselku.

  Aku hampir menangis saat memeluk benda pipih itu erat.
  "Apa-apa maksudnya ini Jim?"
Dia melempar ponselku seenak jidatnya dan sekarang pria itu menatapku marah.

Bukankah seharusnya aku yang marah padanya? Dia pria yang hebat dengan mudah membalik keadaan semudah membalik telapak tangan.

       "Aku sudah bilang, jauhi pria itu. Kenapa kau tetap menghubunginya ha?" Dada Jimin turun naik menghakimiku seolah aku sudah melakukan kesalahan fatal.

   "Apa yang salah dengan hubungan kami? Dia temanku kau tidak pantas menyekat pergaulanku Jim." Aku kembali berhadapan dengan sosok Jimin yang kasar.

   "Kenapa aku tidak pantas menyekatmu huh? katakan alasannya?" Mata Jimin memerah dia dipenuhi emosi.
Tangan di samping ia kepalkan.

  Jimin menyudutkanku.
"Karena kau orang asing Jim! Kau membuatku tidak bisa menemukan priaku dan kau juga menyakiti temanku, aku benar membencimu saat ini!" Beruntung kamar Jimin kedap suara. Aku bisa dengan bebas memakinya disini tanpa takut ibunya mendengar pertengkaran kami.

Jimin mundur beberapa langkah. Matanya berubah layu 2 detik kemudian. Jimin tertawa dengan alunan mengerikan.
"Jadi, karena ini kau terus menyekat hakku?"

Mendadak aku ingin menampar mulutku. Aku baru saja membuka pekung didada, yang artinya Jimin tidak akan berhenti mengintimidasiku hingga apa yang ia permasalahkan selesai.
"Kau sadar tidak? Kau sudah pergi terlalu jauh dengan terus menerus memikirkan pria lain dan keluar bersama pria lain di saat kau sudah punya suami! Apa kau tidak merasa jijik dengan sikapmu yang seperti ini Park Mina?!"

Aku menelan ludah dengan kasar, mengabaikan perasaan takut."Kenapa aku harus jijik? Setidaknya kami bertemu di luar rumah. Bagaimana denganmu Park Jimin? Kau membuatku seperti budak suruhan yang melayani kekasihmu di rumah ini?! Lebih Jijik yang mana?" Aku menghela napas. Melempar ponsel itu keatas sofa. Lalu kembali menatap Jimin.

  Pria itu terdiam. Entah apa yang ia pikirkan, aku tidak peduli.

  "Kenapa kau tidak menjawab? Itu benarkan kita ini seperti orang asing sejak awal, jadi jangan bertingkah seolah kau itu suami yang baik dan paling suci di hadapanku. Aku merasa jauh lebih jijik."

Tersenyum sinis,  menabrak bahu Jimin lalu keluar dari kamar.

Untuk kali ini, aku tidak akan menangis. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun.
Aku hanya menyakiti, orang yang menyakitiku dengan prasangka kotor tanpa dasar yang tepat.

Malam itu berakhir dengan aku yang tidur dikamar tamu bersama ibu Jimin, dengan embel-embel besok wanita itu sudah harus pulang aku ingin dia memelukku lebih lama lagi agar aku tidak mudah merindui sosoknya. Dan ibu Jimin tentu saja senang mengabulkan keinginanku.

Dia membantuku merasa jauh lebih baik.

Little Trace (END)Where stories live. Discover now