Part. 1 (Revisi)

33.5K 1.1K 50
                                    

***

Sejak baru dilahirkan Alya memang sudah ditinggalkan oleh sang ibu untuk selama-lamanya. Sejak dari kecil Alya tidak pernah bisa merasakan bagaimana pelukan dan kasih sayang dari seorang ibu. Ingin sekali Alya dapat merasakan moment dimana ia bisa berkumpul bersama ibu dan ayah juga dirinya dalam satu keluarga.

Tapi hal tersebut tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Apa boleh ia menyalahkan takdir? Sementara karena takdir ia tidak bisa merasakan kebahagian yang seutuhnya.

Sering kali Alya melihat orang lain dengan keluarga yang lengkap. Saling bersenda gurau, tertawa dan bahagia bersama. Tentu saja terkadang ada rasa iri yang Alya rasakan saat itu juga.

Agatha dari kejauhan terdiam sambil memandang lurus ke depan. Dimana Agatha mendapati Alya tengah memandang dalam sebuah bingkai foto keluarga yang tergantung di dinding rumah Agatha.

Agatha menghela nafas. Setegar-tegarnya Alya tetap saja akan terlihat rapuh ketika mengingat bahwa pada kenyataannya Alya tidak seberuntung orang lain.

Berjalan menghampiri Alya sambil membawa segelas jus strawberry yang memang sengaja Agatha buat untuk Alya.

“Alya.”

Alya langsung menoleh pada Agatha.

“Eh, Tha.”

“Kenapa?”

“Hah! Apanya yang kenapa, Tha?”

“Duduk dulu yuk, ini aku sudah buatkan jus strawberry kesukaan kamu.”

Agatha memberikan segelas jus strawberry pada Alya. Yang langsung diterima oleh Alya.

“Terima kasih.”

“Dihabiskan ya, Al.”

“Ok.”

Agatha dan Alya duduk disofa panjang yang terdapat diruang tengah.

“Kalau kamu sedang sedih, kamu bisa cerita sama aku, Al.”

Alya tersenyum.

“Aku baik-baik saja, Tha.”

“Kamu memang terlihat baik-baik saja, tapi sebenarnya kamu sedang terluka kan?”

Kenapa Agatha dapat berkata seperti itu pada Alya. Dikarenakan ekspresi Alya seperti buku terbuka yang mudah dibaca oleh Agatha.

Alya menunduk ia selalu tidak bisa untuk berbohong pada Agatha. Sahabatnya itu selalu bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan.

“Al, kamu tidak perlu menjadi kuat dan hebat untuk hidup. Tapi kamu harus yakin, bahwa kamu bisa menjalani kehidupan yang pahit.” Agatha mengelus bahu Alya.

Saat itu juga kedua bola mata Alya tampak berkaca-kaca. Entah apa yang tiba-tiba saja membuat ia merasa sedih. Tapi yang pasti perasaan sedih itu kerap datang tanpa Alya minta. Dan Alya tidak dapat untuk menahan perasaan tersebut.

“Alya.”

“Maaf.”

Agatha mengernyitkan dahinya.

MERRIED My Best Friend's FatherOnde histórias criam vida. Descubra agora