Surat (untuk) Cinta Pertama

17 0 0
                                    

Tujuh tahun lalu, aku tahu kita akan masuk di sekolah yang sama. Aku tahu kau juga sudah berubah, begitu pun denganku tentu saja. Aku yakin kau sudah pasti punya banyak teman nantinya. Apa nanti kau akan menyapaku? Apa kau nanti bahkan masih mengingatku?

Setelah hari-hari baruku di lingkungan asing yang belum membuatku nyaman, aku selalu menyempatkan melihatmu yang duduk di kursi kayu di taman kecil depan kelasmu, tertawa dan berbincang dengan asiknya dengan teman segengmu. Dari balkon kelasku, aku selalu berpikir kapan aku bisa menyapamu.

Siang itu, aku mendengar jelas suara tawamu di tangga,

"Mati aku." Batinku sambil hati-hati menuruni tangga.

Tiga anak tangga lagi, dan kupastikan benar kau yang sedang duduk memunggungiku. Jantungku mulai tak karuan.

Sampai di sampingmu, kau menoleh dan menyapaku,

"Hai."

"Hai." jawabku kaget setengah malu-malu

"Kalian kenal?" kata teman-sekelasku yang menyebalkan.

Aku gerogi dan berencana ingin bercanda

"tentu saja, tidak." kataku sedikit terbata-bata

Jeda kurang dari lima detik, kau menyahut dengan lantangnya

"Kau lupa pernah bertukar surat cinta denganku?"

"Tamatlah riwayatku."

Aku mempercepat langkahku menjauhi suara tawa teman-temanmu yang seakan mengejekku. Dan semenjak saat itu, aku lebih takut ketika bertemu denganmu.

Sekitar seminggu yang lalu, kau dengan sangat semangatnya mengirim pesan di obrolan grup yang aku juga ada di dalamnya. Aku ragu, merasa frekuensiku sudah sangat jauh berbeda denganmu. Aku hanya menyimak tanpa membalas satu pun pesan disana. Sampai akhirnya saat aku merasa sudah harus bersuara, aku mengirimkan kalimat harapan dan diaamiinkan oleh beberapa orang, selain dirimu.

Beberapa pesan berlalu setelahnya, kau mengirimkan pesan obrolan grup di whatsapp, aku rasa kau sedang mengejekku. Selang beberapa pesan, aku bertanya pertanyaan yang cukup penting, seakan membalas ejekanmu. Sialnya, tak ada lagi manusia yang membalas pertanyaan pentingku, padahal aku yakin sebagian dari meraka yang sering berisik tahu jawaban dari pertanyaanku. Dengan beribu ragu dan sedikit gengsi, akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung padamu, aku yakin kau yang paling tahu jawaban dari pertanyaan pentingku. Seperti es batu yang didekatkan dengan kopi panas, tiba-tiba aku luluh membaca balasanmu yang begitu ramah dan langsung menyebut namaku, padahal aku yakin kau tak menyimpan nomorku di kontakmu, sama sepertiku.

Esok harinya, untuk pertama kali aku merasa sedang mengobrol denganmu di obrolan grup, setelah obrolan grup itu ramai oleh kabar tidak menyenangkan. Selang beberapa jam setelah obrolanku denganmu, aku tahu kita pasti akan bertemu di tempat yang sama. Lagi-lagi, apa aku harus menyapamu duluan atau pura-pura tak kenal saja?

Aku melangkah lemah sambil melihat puluhan orang sedang berdiri dan terlihat sedang merasakan hal yang sama denganku, duka. Dari kejauhan aku bisa melihatmu sedang berbincang dengan lima atau enam temanmu, aku tak sempat menghitung, aku hanya terfokus padamu, apakah aku harus menyapamu, menyebut lantang namamu?

Tiga langkah lagi aku sampai di depanmu dan aku masih ragu, kau juga tak melihatku. Selangkah lagi dan kau masih tak menyadari kehadiranku, sampai tepat di depanmu, kau menoleh dan secara otomatis aku tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata. Sedetik kemudian kau juga tersenyum sambil mengangkat alis dan tangan kananmu sibuk memegang vapor yang kau hisap sejak ntah kapan. Kemudian aku meneruskan langkahku, melewatimu.

Puluhan orang berjalan pelan kemudian semakin cepat ketika keranda mayat hampir sampai di rumah barunya.

"Itu (menyebut namamu), kau tak menyapanya?" kata temanku yang sedari tadi memegang pundakku, menenangkanku dari tangis.

"Sudah, tadi waktu pertama datang."

Puluhan orang yang memenuhi makam satu persatu mulai melangkah pergi meninggalkan kawanku yang tidur sendirian disana. Setelah mengucapkan salam perpisahan terakhir kali di depan makam yang masih baru itu, aku menghapus airmataku kemudian bangkit dan melangkah pergi. Baru lima langkah dari makam baru itu, aku berhenti untuk menyempatkan diri melihatmu yang sedang berbincang dengan teman-temanmu. Kemudian tanpa aba-aba, kau berjalan menghampiriku, menyapaku, dan menjabat tanganku. Tak berhenti disitu, kau juga menyapa dan menjabat tangan kedua orangtuaku yang berjalan di depanku. Selang kurang dari dua menit, aku berjalan lebih dulu meninggalkanmu setelah obrolan basa basi itu kuakhiri dengan senyum.

Duka hari itu, mengusir jauh prasangkaku terhadapmu. Momen menyedihkan hari itu, mungkin adalah cara semesta mendamaikanku. Aku telah berdamai bukan hanya dengan masalalu, tapi juga prasangkaku padamu. Setidaknya jika kita berpapasan ntah kapan, aku akan dengan gampang menyapamu tanpa ragu, tanpa gengsi. Aku percaya, selalu ada maksud mengapa seseorang memimpikan orang yang sama berkali-kali, meskipun sudah jauh, sudah lama tak bertemu, bahkan tak saling rindu.

BerdamaiWhere stories live. Discover now