Meniada

3 0 0
                                    

Jalan setapak panjang menggelap. Ia memakai tudung hitam berjalan sambil menunduk, ke arahku. Toko-toko sudah mulai tutup, cuaca sedang tak bersahabat. Mendung tak kelihatan, pun bulan. Ketukan-ketukan yang di awal terdengar merdu dan dihubungkan dengan rindu, kini semakin menjadi tanpa jeda dan mengetuk semakin kencang. Hujan deras malam itu. Aku berdiri mematung, menyambut yang bertudung yang semakin menipiskan jaraknya. Sudahkah aku katakan jika payungku berwarna abu tua? Aku tersenyum tipis sambil dengan keras mengatainya "bodoh" dalam hati. Dia tak akan berlari, tak juga mau berhenti untuk berteduh, pun aku juga tak mau menghampirinya, takut salah orang. Dia mempercepat langkahnya hingga sampai di depan perempatan, ia berhenti. Ia mengangkat wajahnya kemudian menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan jalanan mengijinkannya untuk menyeberang. Kukira ada lubang di payungku hingga air bisa menetes, ternyata airmata milikku, sekarang aku yang menundukkan kepala, tak mau terlihat konyol dengan airmata yang mulai ingin menyaingi hujan.

"sudah lama menunggu?" katanya yang sudah berdiri tepat di depanku. Aku hanya tersenyum, menganggukkan kepala satu kali.

"sudah lama ya." Kataku sambil mengalihkan pandangan ke sebelah kiri, kafe yang sudah tutup. Biasanya kita duduk disana, bercanda tawa. Biasanya kita duduk disana, menikmati kopi bersama. Biasanya kita disana, saling menatap mesra. Biasanya kita disana, menghabiskan waktu jeda. Biasanya kita disana, saling bertukar cerita. Sekarang, gambaran kisah masa lalu pada kursi dekat jendela itu sudah lenyap, meniada. Persis seperti pantulan bayanganku dan miliknya yang juga tak tergambar di kaca jendela.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 21, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BerdamaiWhere stories live. Discover now