4. Musyawarah

4K 234 22
                                    

Part 4

Malam itu juga, Yayan datang ke rumah Shidiq, menjemput untuk meronda. Di kamar, Mirah hanya bisa pasrah meski tahu suaminya sebenarnya lelah setelah menggarap kebun seharian. Tapi apa daya jika keamanan desa sedang tidak kondusif. "Dinda baik-baik di rumah. Kunci pintu. Jangan biarkan siapa pun masuk. Mengerti?" ingat Shidiq. Istrinya hanya mengangguk dengan wajah resah. Dikecup kening Mirah lalu berpamitan. Wanita itu hanya mengantar sampai pintu rumah lantas sedikit tersenyum sapa ketika bertemu muka dengan Yayan yang menunggu di teras. Setelah mereka pergi, Mirah segera menutup pintu, menguncinya dan merapatkan tirai jendela. Sekarang ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan suaminya.

"Kita mau ke mana?" tanya Shidiq yang belum dapat gambaran mengenai kegiatan mereka malam ini.

"Kita ke rumah Rozaq dulu, menjenguk si Ratih yang belum berhenti menangis. Katanya sudah seperti orang gila, teriak gak karuan."

Shidiq tercekat. "Astagfirullah. Kasihan. Yah, kalau begitu sebaiknya kita cepat ke sana."

Di kediaman Rozaq masih banyak warga yang berkumpul. Mereka sebenarnya bingung, ingin melayat tapi tak ada mayat. Di rumah panggung itu hanya di gelar hamparan tikar dari anyaman bambu. Mereka duduk bersila, tak ada yang disajikan karena si empu rumah tengah berduka meski hati masih berharap sang buah hati bisa kembali. Rintihan Ratih terdengar dari dalam kamar, hati Rozaq makin teriris mendengarnya. Ibu mertuanya pun yang berada di kamar masih belum mampu menenangkan istrinya. Yayan dan Shidiq memberi salam setibanya, semua menjawab sayup karena rasa getir. Saat bergabung di lantai Shidiq duduk dekat Darusman yang juga berada di sana. Sepertinya mereka sedang membahas masalah ini.

"Yang pasti, saya tidak terima!" tandas Rozaq, wajahnya merah karena amarah.

"Tenanglah, Rozaq." Sudah berapa kali Darusman berkata seperti itu. "Tidak mungkin kita menuduh sembarangan ke kampung mereka. Penyebab hilangnya bayi kalian saja belum jelas."

"Siapa lagi yang suka menculik bayi di kampung ini?! Mereka sudah melanggar perjanjian!" kilah Rozaq makin getir.

"Betul itu, Pak Darus. Buat apa orang kampung kita menculik bayi. Apa pentingnya? Pasti sudah ketahuan sama tetangga. Jikalau dari daerah luar rasanya terlalu mustahil," sambar warga lain, Ramli. Shidiq mengenalnya yang memang suka memanasi keadaan.

"Ya, sudah! Kita serang saja kampungnya. Saya tidak takut!" seru Yatno yang juga jawara kampung ini selain Rozaq.

Sudah panas disiram minyak pula, Shidiq hanya bisa menghela napas. Situasi ini masih abu-abu tapi sudah ingin menuai badai. Salah bertindak urusannya nyawa orang tidak bersalah bisa melayang. Ia hanya berharap kalau warga masih menghargai ayahnya dan tidak bertindak sembrono.

"Subhanallah, jadi kalian ini maunya apa? Cari masalah di kampung tetangga tanpa bukti yang pasti. Mau menjadikan anak-anak jadi yatim? Hati boleh panas, tapi pikiran harus waras. Tindakan juga jangan sampai melebihi batas. Hukum yang salah, jangan membabi buta. Bisa panjang urusannya. Masalah masa lalu saja belum terselesaikan, hanya mendingin karena perjanjian. Karena itu, janganlah beri mereka alasan untuk memulai peperangan," kata Darusman mengingatkan.

Rozaq tertunduk diam, walau hati tidak terima tapi apa yang dikatakan jorong kampungnya memang ada benarnya. Tiba-tiba Ratih keluar dengan tangisannya menyela percakapan, ibunya tak sempat menahannya yang berlari keluar kamar. Wanita tua itu hanya berdiri di ambang pintu sambil sesenggukan meratapi nasib putri dan cucunya. Ratih meraung ketika Rozaq menangkap tubuhnya. "Tunggu apa lagi?! Tolong carikan bayi saya! Cari di sana! Bayi saya masih hidup! Belum terlambaaaaat!" Tangisannya makin keras dan napasnya sampai tersendat-sendat.

"Tenang, Dinda! Tenang! Warga masih mencari. Berdoa saja!" kata Rozaq yang kian pilu merasakan kesedihan istrinya. Semua warga yang berada di sana hanya bisa terdiam, termasuk Shidiq. Mertua Rozaq menarik Ratih ke dalam kamar agar tidak menggangu musyawarah mereka. Sepeninggalnya Rozaq kembali duduk di tempatnya tadi, bingung hendak bicara apa lagi. Sejujurnya mereka tidak memiliki petunjuk karena semalam ia dan istrinya tidur sangat pulas hingga tidak menyadari kalau bayi mereka telah hilang.

Semua warga yang mendengar ceritanya berspekulasi sama seperti dirinya. Mereka menduga kalau palasik yang menjadi pelaku kejadian ini. Sebab palasik memiliki ilmu penidur, yang kalau kata orang jawa disebut kesirep. Tidak akan sadar dari tidur walau mendengar suara sekeras apa pun.

Masalahnya adalah siapa pelakunya, karena jujur saja ia sendiri tidak mengenal warga kampung yang jadi masalah itu. Sudah cukup lama warga tidak bergaul dengan mereka, menyapa saja enggan, apalagi sampai berteman. Semua warga menganggap mereka adalah kelompok setan karena ilmu kanuragannya yang nyeleneh.

Yayan yang sedari tadi hanya menyimak ikut terjun dalam percakapan. "Lalu bagaimana tindakan selanjutnya, Pak Darus? Tim warga yang mencari bayi Rozaq sudah kembali tapi tidak membawa hasil, bahkan petunjuk. Sisa-sisanya saja tak ada jika memang ini perbuatan palasik." Ucapan itu makin mengiris hati Rozaq yang baru mengetahui kalau warga tidak berhasil menemukan bayinya. Air matanya menitik namun segera dihapusnya.

"Sudah didata siapa saja warga kita yang memiliki bayi atau yang sedang mengandung?" tanya Darusman.

"Sudah, ada dua bayi dan seorang yang sedang hamil tua."

"Sementara warga mencari bayi Rozaq, bagi warga yang sudah dikumpulkan untuk meronda, kirim ke rumah mereka untuk berjaga. Lebih baik mencegah hal ini untuk terulang. Semoga tidak terjadi seperti apa yang kita duga."

"Apa perlu kita melapor ke Datuk Pusako?"

"Nanti saja. Biar saya yang datang ke rumahnya besok," jawab Darus. "Nah, cepat pergi. Ini sudah larut, kalau ada apa-apa segera lapor ke saya. Saya tidak beranjak dari sini malam nii." Darusman terpaksa bermalam di sini demi mencegah orang-orang memanasi Rozaq, takut dia bertindak ceroboh. Hati yang sedang lemah mudah disetir orang lain yang tak bertanggung jawab yang hanya memanfaatkan keadaan.

Yayan mengangguk, kemudian memberi kode pada warga yang akan ikut meronda untuk mengikutinya, termasuk Shidiq. Belum sempat anaknya berdiri, Darusman menahan lengannya. "Bagaimana istrimu? Kasihan ditinggal sendirian di rumah."

"Tidak mengapa, Abak. Sebelum subuh Shidiq usahakan sudah di rumah," katanya menenangkan ayahnya. Ia tahu kalau Darusman juga sedikit menaruh curiga pada Mirah dan ingin ia mengawasinya.

"Ya, sudah kalau begitu. Minta pengertian saja nanti sama yang lain."

"Baik, Abak." Mereka pun berpamitan setelah meminta Ramli dan Yatno untuk ikut bergabung supaya tidak terus mengusik Rozaq.

"Tidak apa, kan kalau saya ikut berjaga di sini?" tanya Darusman.

"Iya, Pak Darus. Maaf kalau tidak layak dalam menjamu. Harap dimaklumi."

Darusman tersenyum tak ambil pusing. "Tidak apa, rumah kita kan dekat, sebelum subuh saya akan pulang setelah menunggu laporan dari Yayan. Kalian sudah makan? Biar orang rumah bawakan lauk kemari."

"Tidak perlu repot, Pak Darus," tolak Rozaq tak enak hati.

"Tidak apa, istrimu kan sedang bersedih, tak baik diberi beban di dapur, nanti bisa celaka. Ibu mertuamu juga sudah tua, nanti lelah." Darusman pun meminta seorang warga untuk menemui istrinya agar memasak sesuatu untuk di makan keluarga Rozaq. "Jangan di tolak, kamu juga butuh tenaga untuk hari ke depan," katanya pada Rozaq yang tak bisa beralasan lagi.

[TAMAT] Legenda Salamah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now